Peradaban SETENGAH KOTA di Prabumulih

Bu Ruli

Percayalah. Kalau malam ini saya mengalami susah tidur, itu bukanlah karena house music remix yang sedang berdentam di sebelah rumah emak kami di kawasan Prabusari, kota Prabumulih, Sumatera Selatan. Tapi karena kegelisahan. Sebuah kegelisahan besar yang amat dan sangat mengganggu saya yang notabene asli ‘orang kota’ --telah dilahirkan juga dibesarkan di beberapa kota besar di Indonesia.
Saya mirip menangis. Seandainya saya penduduk asli di kota mungil ini, seperti suami saya yang memang datang bersama saya untuk mudik, maka saya akan segera merasa banyak kehilangan hal-hal yang saya rindukan dari kota kelahiran saya itu: suasana asli ke-prabumulih-an!
Atau… Apakah memang Prabumulih sejak awalnya sudah begini? Penuh dengan suara house music remix dari rumah-rumah para empunya hajat, lengkap dengan perempuan menor dan muda-mudi mabuk sambil gedek? Saya yakin tidak.
Tentang musik yang menurut saya sangat mengganggu rasa dan telinga itu--yang menurut beberapa sumber dapat menurunkan konsentrasi dan kesadaran para pendengarnya sehingga sering dimanfaatkan untuk sarana pengiring mabuk--saya memang mendengarnya sendiri, dengan jelas dan bukannya hanya sekali. Sebab seorang tetangga di kampung kami itu kebetulan adalah penggemar jenis musik demikian, sehingga hampir saban hari saya mendengar dentum yang keluar dari electone keyboard di rumahnya. Namun, tentang kelakuan muda-mudi mabuk, dan kehadiran perempuan-perempuan berpenampilan tak patut, emak kamilah saksi matanya. Pernah miris hatinya menyaksikan pesta semalam suntuk di rumah tetangga depan rumahnya. Oh!
Pertanyaannya adalah kenapa…?
Kenapa harus sebuah kota mungil yang kaya dengan tradisi asli seperti Prabumulih teracuni oleh peradaban ‘setengah kota’ seperti itu? Sungguh! Musik hingar yang disebut orang banyak sebagai house music remix bukanlah musik pilihan buat penduduk ‘asli’ kota, barangkali itu adalah musiknya kaum urban. Hei, atau memang itukah jawabannya? Kaum urban kotalah yang telah membawanya pulang ke kampung halaman mereka seperti Prabumulih ini? Duh, sayang sekali…
Ya, barangkali. Kaum urban (pendatang) sendirilah yang telah menciptakan house music remix di kota perantauan dengan memanfaatkan teknologi mesin musik, mempulerkannya di antara kelompok mereka sendiri lalu membawanya pulang ke kampung halaman mereka. Dengan anggapan bahwa house music remix ini adalah musik keren produksi kota yang gaul. Oh, tentang salah serap atau cerna kata gaul inipun telah sanggup membuat saya mbelenger. Oh!
Demi mendapat gelar anak gaul yang tidak kuper dan asli ngetrend, banyak orang muda di Prabumulih yang sibuk me-rebonding rambutnya. Tiga dari lima pelanggan sebuah salon yang sempat kami singgahi, adalah pasien rebonding, dua sisanya memerlukan dua jenis pelayanan yang berbeda, yang satu membutuhkan pengecatan rambut dengan warna hitam--seorang bapak berumur setengah baya, dan, syukurlah, yang lainnya adalah keponakan kami, yang butuh dirapikan potongan rambutnya.
Yang menarik, satu diantara tiga pasien rebonding adalah laki-laki, meskipun dari penampilannya cukup terlihat sebagai lelaki feminim. Entahlah. Sebab pada hari yang lain saya telah melihat juga seorang lelaki yang sangat maskulin, yang juga telah me-rebonding rambutnya sambil melengkapinya pula dengan potongan rambut ala Dao Ming Zhe--tokoh film mandarin Meteor Garden. Si maskulin korban rebonding itu saya temukan di acara akad nikah seorang kawan di Palembang. Dan, astaga, hari itu paling tidak saya menemukan dua orang tiruan Dao Ming Zhe pada saat dan tempat yang sama.
Sekali lagi, saya ini tidak sedang terganggu, benci apalagi alergi terhadap bentuk budaya populer seperti di atas. Saya hanya menyesali penyerapannya yang hanya setengah. Segala tindakan tidak lagi didasarkan pada sebuah alasan yang jelas dan sesuai kebutuhan, misalnya: “Saya keritingkan rambut saya sebab helainya tipis sekali dan jumlahnya sedikit pula” tapi “Saya rebonding rambut saya ya karena sedang ngetrend saja…” Oh!
Kadang-kadang saya teringat kepada acara-acara di televisi terutama yang bersifat infotaintment. Menurut pengamatan saya acara yang kebanyakan bersifat pengintipan terhadap kehidupan tokoh masyarakat ini betul-betul jadi sarana cuci otak dan jadi biang pemberian informasi separo ke kota ‘baru’ seperti Prabumulih ini. Orang-orang menyerap mode, gaya hidup, dinamika separo kehidupan orang kota, tata nilai dan lain sebagainya. Lahirlah sebaris kalimat pembelaan diri di kalangan anak muda yang sedang mendapatkan peringatan dari orang tuanya tentang pelanggaran tata nilai kepatutan setempat: ”Selebritis aja begitu.” Oh… saya sungguh tak bisa berbuat apa-apa tentang ini, cuma bisa merasa miris dan menonton saja kenyataan yang ada.
Bagi warga kota yang ‘baru’ seperti Prabumulih ini, infotaintment dari beberapa televisi swasta di Jakarta ini sungguh merusak. Sementara bagi banyak penduduk di beberapa kota besar sendiri, semuanya mirip sudah selesai: “Hiduplah kau sendiri, O…Selebritis. Terserah kaulah Aku cuma butuh cari makan.”
Mungkin memang sejak semula, angan-angan saya sebagai orang ‘kota besar’ yang ikut pulang mudik ke Prabumulih ini cuma bisa dianggap sebagai romantisme pemudik belaka. Pada suatu hari di seputar Ramadhan dan Lebaran yang baru lalu, saya juga cuma berhasil menemukan warung ayam goreng ala Amerika yang siap melayani –hebatnya--24 jam. Padahal saya dan suami mengidamkan warung jajan tradisional, layaknya pemudik. Di hari yang lain, masih di sekitar lebaran, kami berhasil menemukan warung bakso yang buka. Mmm, bakso juga bukan makanan asli Sumatera Selatan, bukan
Tentang ayam goreng ala Amerika, saya juga salah satu penggemarnya. Tapi begitu saya menangkap gejala keponakan kami yang bila dibiarkan maka selangkah lagi akan lebih memuja kegiatan makan di restoran cepat saji ala Amerika itu--dan lebih buruk lagi adalah dasar alasannya bukan yang dikarenakan kedoyanan pada rasa masakan-- maka kami segera mengantisipasinya dengan tidak memenuhi permintaannya makan di restoran model demikian--yang kebetulan masih cuma satu-satunya di Prabumulih sementara ini. Dan kami mengganti traktiran dengan pesta es krim di rumah dan makan tahu bunting dengan kuah cuka empek-empek buatatan emak. Hmm, uenak tenan.
Saya dan suami hanya ingin menegaskan kepada mereka, bahwa mereka masih beruntung bisa tinggal di kota yang memungkinkan emak mereka masak setiap hari dan ada banyak menu harian sederhana juga jajanan tradisional yang enak dan murah meriah di kota mereka.
Kembali kepada keriuhan dentum ala diskotik tadi, di kota-kota besar sana orang malah sudah mulai kembali rindu kepada keadaan asli seperti di desa mereka dulu, jaman sebelum mereka menjadi urban--sebab sepertinya hampir setiap orang kota adalah keturunan urban. Mereka mulai memindahkan sungai, gunung, dan laut ke rumah-rumah mereka. Mereka membuat kebun-kebun, kolam ikan, pancuran dan aquarium. Mereka memelihara burung, melepas katak di kolam dan memelihara jangkrik. Mereka menyetel kaset rekaman suara alam, bunyi-bunyian yang di kota kecil seperti Prabumulih masih bisa didapatkan secara gratis setiap hari. Mereka harus pergi ke villa-villa, pondokan-pondokan di luar kota, sekedar untuk mendapatkan kesenyapan dan menikmati lagi sedikit kedamaian ditingkahi semilir angin. Dan betapa mereka yang di kota besar sana harus mengeluarkan banyak ongkos untuk menikmati semua itu.
Orang-orang kota besar itu rindu makanan ala kampung mereka, duduk lesehan di atas tikar pandan, berjalan kaki dan mendayung sampan, mendengarkan campur sari atau lagu-lagu melayu lama, mengumpulkan sebanyak mungkin koleksi kain tradisional mereka, memakainya dengan bangga kemana-mana.
Tapi barangkali, kita memang harus kembali lagi kepada apa yang kita sebuat sebagai manusiawi: “Ya, keriuhan itulah yang membuat orang kota rindu senyapnya kampung halaman, dan kesenyapan itu yang membuat sebuah kota kecil rindu keramaian.”
***
Prabusari, 19 Oktober 2007
ceritanet
situs nir-laba untuk karya tulis
edisi 20, Jumat 17 Agustus 2001
___________________________________________________


esei Korupsi Terhadap Republik
B. Herry Priyono
Istilah korupsi berakar dari bahasa Indo-Eropa, yang pada gilirannya berasal dari kata Latin corrumpere --menghancurkan, merusak, memalsukan, menyuap). Pengertian ini mencakup benda, unsur kimiawi, kualitas orang, maupun tindakan. Dari kata itu terbentuk kata corruptio, yang terutama menunjuk pada tindakan maupun kondisi. Mungkin kita bisa mulai dari satu pertanyaan sederhana ; kalau kita bicara korupsi sebagaimana kita pahami, yang dimaksud 'korupsi terhadap apa dan siapa?'

Tentu, asal-muasal istilah tidak menjelaskan mengapa kata itu sekarang digunakan. Namun sekaligus juga bisa tetap menjadi pedoman bagi arti yang dimaksud. Dalam hal ini, pertanyaannya ialah : lewat mana istilah korupsi menjadi sentral dalam kehidupan sosial, ekonomi-politik, hukum, dan sebagainya?
Republik
Jawabnya terletak dalam gagasan ‘republikan’. Istilah republik berasal dari kata res publica (urusan/hal/kepentingan umum). Pengandaiannya, kehidupan bersama berlangsung secara optimal dalam tata masyarakat yang terorganisir lewat satuan kelompok civic. Negara-bangsa moderen (misalnya Republik Indonesia), adalah satuan kelompok civic seperti itu.

Maka atas pertanyaan 'korupsi terhadap apa dan siapa?' jawabnya bisa lugas: terhadap republik dan warga republik. Soalnya ialah apa saja yang dimaksud sebagai urusan atau kepentingan umum (republik; res publica)? Uang negara, tabungan warga di bank, kurikulum sekolah, konservasi hutan adalah beberapa contoh res publica. Maka umumnya kita menganggap penggelapan uang negara sebagai korupsi.

Cuma, apakah pengertian itu juga berlaku bagi penggundulan hutan dan pencemaran lingkungan oleh proses industrial yang serampangan? Dalam kriteria republikan, jawabnya ya. Namun mengapa biasanya soal ekologis itu dilihat sebagai soal korupsi hanya ketika melibatkan penggelapan uang negara? Pada tolak ukur finansial ini segera kita kenali proses komersialisasi tata hidup republikan. Para pendekar ekologi benar ketika mereka marah berhadapan dengan prinsip bisnis yang bergerak dengan dalil bahwa sebatang pohon punya nilai hanya ketika sudah ditebang dan menjadi kayu gelondongan. Fakta bahwa jutaan pohon menentukan kelangsungan ekologis generasi mendatang belum diintegrasikan ke dalam fungsi produksi menurut kebanyakan pemikiran ekonomi.

Kembali ke soal korupsi terhadap res publica. Mengapa dalam pengertian umum dan bahkan wacana serius, kita memahami korupsi sejauh itu menyangkut pejabat/pegawai pemerintah? Saya kira dalam soal ini beberapa hal perlu dijernihkan, karena meskipun rancu, pandangan itu telah berpengaruh besar pada tata kebijakan (public policy).
Mutualitas
Akar dari gagasan populer tentang korupsi adalah konsepsi ekonomi-politik liberal. Satu unsurnya yang terpenting adalah pembedaan antara lembaga negara sebagai kawasan publik (res publica) dan sektor bisnis swasta sebagai kegiatan privat (res privata). Apa dasar perbedaan tersebut?

Pertama, lembaga negara bukanlah milik pribadi, sedang modal bisnis swasta dipatok sebagai hak milik pribadi. Kedua, karena dipatok sebagai hak milik pribadi, kegiatan yang muncul dari modal privat dianggap sebagai gugus tindakan sukarela yang berdasar pada kebebasan (liberty). Artinya, proses itu dianggap tidak melibatkan penggunaan kekuasaan dan koersi. Sebaliknya, kegiatan atau proses yang didasarkan pada kekuasaan lembaga negara dikategorikan sebagai gugus tindakan yang melibatkan penggunaan kekuasaan dan koersi. Maka proses kinerjanya perlu dikontrol dengan kriteria akuntabilitas demokratis (democratic accountability).
Itulah dua pokok yang secara umum dipahami sebagai perbedaan utama antara tindakan lembaga negara dan aktivitas bisnis, antara pejabat/pegawai negara dan pelaku bisnis. Lugasnya, yang pertama kena kontrol demokrasi, yang kedua tidak. Tetapi, bahkan dari cara berpikir yang paling sederhana, perbedaan itu sulit diterima. Ambillah mekanisme pasar yang selalu kita sangka bersifat sukarela dan tidak melibatkan penggunaan kekuasaan. Lewat mekanisme demand-supply, para petani mungkin bebas memilih jenis pestisida yang harus diproduksi suatu perusahaan. Namun, apakah mereka bisa bebas memilih staf manajerial perusahaan itu? Apakah mereka bisa memilih teknologi produksi yang punya pengaruh langsung pada masalah lingkungan hidup? Lalu, proses kontrak kerja, monitoring produksi, dan semacamnya jelas-jelas melibatkan penggunaan kekuasaan. Dan karena itu, sangatlah rancu menyebut proses ekonomi sebagai kawasan privat. Praktik bisnis yang menyangkut tata ekologis, jumlah besar deposito masyarakat, pengadaan pangan kita, dan sebagainya adalah urusan publik, bukan privat.
Setidaknya dua prinsip ekonomi-politik liberal yang rancu di atas mendasari gagasan umum tentang korupsi. Maka, oleh kaum liberal dan neo-liberal, korupsi diartikan sebagai 'penyalahgunaan kekuasaan publik untuk keuntungan pribadi' yang terutama muncul dari tindakan semau gue aparatur negara (World Bank 1997). Pengertian semacam itu bertebaran dalam berbagai literatur, kajian, maupun tulisan populer. Dalam konsepsi seperti itu, penjelas utama gejala korupsi diletakkan pada aparatur negara. Bagi kita di Indonesia, daya tarik cara-pandang ini diperkuat oleh perilaku authoritarian-kleptocratic (otoriter-pencuri) banyak pejabat pemerintah selama Orde Baru.
Meskipun tidak seluruhnya salah, pengertian itu terlalu sempit untuk menggambarkan proses sesungguhnya. Tidak benar proses korupsi selalu dimulai dari tindakan sewenang pegawai pemerintah. Dari penelitian yang saya lakukan tentang corak interaksi pelaku bisnis dan pegawai pemerintah, intensitas para pelaku bisnis dalam menyeret pegawai pemerintah ke proses KKN sama kuatnya dengan penyalahgunaan kekuasaan administratif para birokrat. Dalam banyak hal, bahkan jauh lebih kuat. Pola ini berlaku dari soal penggelapan pajak, alokasi kuota, sampai pengadaan proyek.
Ambilah contoh dari gejala yang sudah banyak kita ketahui. Kalau investigasi TEMPO bisa kita pinjam, misalnya, 1.7 juta hektar Proyek Lahan Gambut raksasa di Kalimantan Tengah yang gagal total itu pertama-tama lahir dari upaya raksasa bisnis swasta Tay Juhana (yang dikuti para raksasa lain, seperti Bob Hasan) untuk menjarah dana reboisasi dan APBN. Tay Juhana mendapat US$206.5 juta, sedang Bob Hasan $161.7 juta. Pola semacam juga terjadi dalam kasus penjarahan BRI, Taspen, PAM Jaya, dsb (TEMPO, Dari Skandal ke Skandal, 1999). Dalam hal pajak, kasus penggelapan Wajib Pajak Badan (Perusahaan) selama tahun fiskal 1999/2000 berjumlah 100 kasus, dua kali lipat dibanding yang dilakukan Wajib Pajak Pribadi (50 kasus). Yang pertama melibatkan Rp. 4 trilyun, yang kedua Rp. 300 milyar (Press Release Menko Ekuin, 2 Nov. 2000). Pola KKN ini tidak terbatas pada para cronies, tetapi dengan mudah dilakukan oleh banyak perusahaan non-cronies. Inilah tualang kekuasaan bisnis yang akan saya sebut predatory-parasitic (benalu-pemangsa).
Dalam kasus-kasus itu, penyalahgunaan kekuasaan administratif negara tentu selalu terjadi, karena proses korupsi di situ per definisi melibatkan prosedur administratif institusi negara. Cuma, kita alpa bahwa proses yang sesungguhnya berlangsung di lapangan jauh lebih ruwet dibanding definisi liberal atau neo-liberal tentang korupsi.

Dari mana bisnis punya kapasitas mendikte para pegawai negara menuju proses KKN? Jawabya lugas, kekuatan uang yang dimiliki para pelaku bisnis (nepotisme adalah cara lain!). Gaji pegawai pemerintah yang sangat rendah bukan hanya suatu tragedi, melainkan juga bahan bulan-bulanan para pelaku bisnis. Yang terakhir ini biasa membeli walikota, gubernur, menteri, bahkan seluruh jajaran polisi dan pengadilan. Inilah proses state looting (penjarahan negara) yang dilakukan sektor bisnis.
Leviathan Baru
Kita biasa menganggap bahwa kekuasaan tertinggi dalam suatu masyarakat berada di tangan pegawai pemerintah. Entah atas nama mode atau gaya, kita suka mengutip Thomas Hobbes (1588-1679), filsuf Inggris itu, ketika kita menggambarkan kekuasaan negara sebagai Leviathan. Ia sejenis ular raksasa laut yang menakutkan. Tetapi metafor itu sudah semakin usang. Sejak proses deregulasi-liberalisasi modal yang memperanakkan globalisasi ekonomi, kekuasaan dan kapasitas hampir semua lembaga negara semakin dilucuti oleh --dan tunduk pada-- kekuasaan bisnis. Jadi, siapa yang sesungguhnya lebih berkuasa?
Karena itu, klaim tentang pemerintah sebagai pucuk kekuasaan tertinggi dalam masyarakat adalah sebuah klaim di atas kertas yang semakin tak punya substansi. Semoga kita segera merevisi cara-pandang. Dalam tata ekonomi-politik dewasa ini, kekuasaan bisnis swasta telah menjadi Leviathan baru. Sebagaimana setiap praktik kekuasaan yang tak terkontrol merupakan masalah, begitu juga praktik kekuasaan bisnis yang kita biarkan lolos dari proses akuntabilitas demokratis dengan mudah akan menjadi sumber berbagai persoalan dalam masyarakat. KKN adalah satu dari gejala seperti itu. Apa implikasinya bagi gagasan demokrasi? Demokrasi bukan sekadar gerakan mengontrol kekuasaan negara, melainkan gerakan untuk mengontrol berbagai sosok kekuasaan yang praktiknya punya implikasi luas pada hidup masyarakat, termasuk kekuasaan bisnis.
Proses bagaimana bisnis menyeret aparatur negara ke dalam proses KKN ini begitu sentral dikenali dan perlu diintegrasikan ke dalam kampanye anti-KKN. Proses penyeretan itu juga bagian pokok res publica. Maka juga perlu kena kriteria akuntabilitas demokratis. Bisa saja kita selalu berteriak tentang lemahnya penegakan hukum. Tetapi, soal penegakan hukum bukan sekadar perkara tidak-bergiginya pemerintah, melainkan juga soal bagaimana kekuasaan bisnis dengan mudah bisa mendikte aparatur pemerintah sehingga law enforcement akhirnya menjadi tidak bergigi.
Satu setengah abad silam (1848), seorang pembaca gejala yang menulis diktum ini: 'aparatur negara bertindak sebagai komite yang mengelola kepentingan para borjuis.' Bukankah diagnosis itu merupakan konsekuensi nyata dari kekuasaan besar bisnis dalam mendikte para pegawai pemerintah? Oh ya, pembaca gejala itu bernama Karl Marx.
***
London, Agustus 2001.
ceritanet
kirim karya tulis
©listonpsiregar2000
esei Hikayat Orang Miskin Indonesia
Yopie Hidayat
Inilah kisah tentang persoalan negeri bernama Indonesia. Awal mulanya adalah ketika pemerintahan yang sudah berumur 32 tahun mencapai puncak kerapuhan. Para kawulanya sudah tidak percaya sehingga kejadian sepele sekalipun sudah cukup membentuk ular antrean panjang di depan kasir bank, untuk menarik uangnya.
Dan marilah bandingkan dengan apa yang terjadi di negeri bernama Argentina, sekarang ini, dengan Indonesia, masa 1997-1998:
Di Argentina pemerintah langsung membekukan semua simpanan di bank. Pokoknya bank dilarang buka. Akibatnya orang kaya yang punya uang banyak terpukul hebat. Mereka marah ; kekayaannya hilang. Orang-orang miskin juga marah karena uang mereka yang sedikit juga hilang. Tapi apalah artinya menjadi sedikit lebih miskin. Penderitaan orang yang tadinya kaya raya lalu tiba-tiba menjadi miskin tentu lebih menyakitkan daripada penderitaan orang miskin yang menjadi sedikit lebih miskin lagi.
Yang jelas, karena orang kayanya marah maka gerakan politik marak. Pemerintahan berkali-kali ganti tanpa ada solusi. Sementara orang miskin yang marah cuma bisa menjarah. Ujungnya ya sama, penjarahan dan kekacauan merajalela sehingga menciptakan iklim, yang kemudian menyuburkan gerakan politik. Sampai sekarang masih kacau. IMF tak berdaya.
Indonesia lain. Pemerintah tak mau merugikan orang yang menyimpan uang di bank, dan langsung memutuskan jadi bandar yang menalangi segala simpanan. Ada yang namanya mekanisme penjaminan pemerintah yang intinya adalah: pokoknya semua uang yang ada di bank, semua tagihan apa pun yang ada di bank, berapapun jumlahnya, milik siapapun, akan dibayar kembali oleh pemerintah.
Kebijakan Indonesia membuat orang kaya terselamatkan. Mereka senang ; uangnya aman. Memang ada sedikit rusuh dan jarah menjarah, tapi semua orang juga tahu kalau ada bau rekayasa tentara di balik kerusuhan dan jarah menjarah itu.
Pada garis besarnya, orang miskin cuek bebek. Inilah cilakanya ; mereka cuek karena tidak tahu bahwa kebijakan ini sebenarnya bisa dirumuskan menjadi satu kalimat : 'pemerintah menyelamatkan orang kaya dengan keringat dan air mata orang miskin.'
Jaminan Untuk Konglomerat
Mengapa demikian? Begini. Dengan adanya jaminan dari pemerintah, maka terciptalah sebuah lubang besar bagi orang-orang kaya dan konglomerat pemilik bank untuk mengeruk duit gratis. Mereka ramai-ramai mengaku banknya mendapat masalah. Mereka mengaku nasabahnya ramai-ramai menarik simpanan. Pemerintah harus menalangi, karena sudah berjanji akan memberi jaminan atas segala tagihan yang ada di bank, siapapun yang punya, dan berapapun jumlahnya.
Maka mengucurlah duit-duit yang disebut Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Bahkan antar pemilik bank pun bikin kongkalikong. Dibikinlah tagihan antarbank, seolah-olah bank A punya tagihan pada bank B. Maka ketika bank A menagih dan bank B mengaku bokek, ya pemerintah dong yang bayar ---kan sudah ada jaminan tadi.
Inilah pesta pora bejat para orang kaya, yang nanti tagihannya akan dibayar oleh orang-orang miskin.
Ketika keadaan reda, pemerintah menagih pada pemilik bank. "Sampeyan harus tanggung jawab."
"Siap bapak, silakan sita aset-aset saya."
Dan aset-aset yang direlakan sepenuh hati itu aset-aset bodong karena dari dulu para bankir menarik duit rakyat untuk bikin proyek-proyek bodong. Selisih duitnya dikantungi. Jadi, para orang kaya bejat tadi mendapat untung mendadak dua kali.
Pertama mereka dapat duit BLBI. Kedua mereka bisa menyelesaikan persoalan dengan proyek-proyek bejat. Sebab pada suatu titik jelas kalau kredit-kredit yang disalurkan secara serampangan --dan umumnya untuk grup sendiri-- bakal macet. Mumpung keadaan lagi kacau balau, serahkan saja semua aset bodong tadi ke pemerintah sebagai bentuk tanggung jawab. Beres.
Lebih dari itu --atas nama upaya penyehatan bank-- pemerintah juga mengumpulkan seluruh aset busuk di bank untuk dipool jadi satu. Sebagai gantinya pemerintah menerbitkan surat hutang dengan janji akan ada bunga yang akan dibayar setiap tahun. Bunga inilah yang menjadi darah bagi bank untuk hidup.
Oke, perbankan tidak ambruk. Ekonomi tidak rusuh. Tapi, pemerintah sekarang harus memikul aset bodong yang nilainya ditaksir tak lebih dari 20% dari total uang yang sudah dikeluarkan.
Kembali lagi ke orang miskin, karena tagihan atas kerugian ini nanti harus dibayar oleh orang-orang miskin. Padahal sebagian saham bank-bank yang ditolong itu, ternyata masih dimiliki oleh orang-orang kaya. Bedanya, dulu mereka mayoritas sekarang harus rela berbagi dengan pemerintah.
Subsidi Orang Miskin
Waktu pun lewat dan sekarang pemerintah mulai harus menunaikan kewajiban. Akibatnya, anggaran tersedot untuk menambal uang yang dulu dibayarkan ke bankir-bankir itu. Bunga obligasi untuk penyelamatan bank harus dibayar. Pemerintah terjebak sebuah masalah klasik: kehabisan duit, tidak punya cash flow yang cukup untuk menjalankan negara.
Solusinya: menunda membayar utang, memangkas pengeluaran yang bisa dipangkas --subsidi minyak, anggaran kesehatan, pendidikan, dan semua urusan yang diperlukan orang miskin-- atau mengutip jargon UUD 1945 ; menunda proyek-proyek yang berguna untuk hajat hidup orang banyak.
Yang paling cilaka adalah semua tarif pajak kalau sebisanya digenjot habis-habisan. Perusahaan negara diinstruksikan menaikkan penghasilan. Jadi jangan heran kalau tarif telepon, kereta api, kapal laut, hingga tarif berak di kakus terminal harus naik.
Kebijakan seperti ini tentu saja lebih memukul orang miskin ketimbang si kaya. Apalagi orang kaya tadi sudah terlebih dahulu mendapat kenikmatan dari penjaminan pemerintah, maupun pengucuran duit yang mengatasnamakan penyelamatan bank.
Jadi, sekarang orang miskin memang makin sengsara. Ssemua-semua jadi mahal. Nyaris tak ada lagi penyelenggaraan jaminan sosial oleh negara --darimana duitnya, wong pemerintahnya kesulitan cash flow).
Pajak makin digenjot tapi layanan publik makin menurun. Mari kita lihat empat fungsi dasar
Kesehatan? Pelayanan dasar yang diberikan puskesmas makin menurun. Orang miskin harus kian menderita dalam hal pelayanan kesehatan, sedangkanb orang kaya tidak perduli karena mereka masih mampu mencari dan membayar pelayanan pribadi yang kualitasnya sangat jauh lebih baik. Yang kelas Jaguar bisa terbang ke Singapura.
Keamanan? Semua orang di kompleks, di RT, di jalan besar tentu masih harus membayar iuran hansip atau satpam. Itupun harus rela diberikan tanpa ada jaminan bebas rampok. Pemerintah tak punya duit untuk mengongkosi polisi secara lebih layak. Walhasil polisinya korupsi.
Orang miskin punya cara sendiri untuk mengatasi keamanan. Ini mungkin barbar, tapi bisa menjadi hiburan alternatif --maklum satu-satunya hiburan paling-paling cuma nonton TV, yang lagi-lagi belum tentu sehat karena isinya lagi-lagi kelakuan busuk orang kaya di sinetron. Cara itu adalah membakar hidup-hidup penjahat teri yang tertangkap.
Harap maklum lagi, mereka memang tidak mengerti tentang penjahat kakap kaya raya yang sebenarnya membuat hidup mereka sengsara seperti sekarang ini.
Transportasi? Cobalah, naik mobil dari Jakarta ke Bandung, hancur lebur. Minimal lima enam jam, macetnya enggak ketulungan. Kalau mau agak nyaman bisa lewat tol, tapi ini harus bayar lagi --bukan pemerintah yang menyediakan. Orang kaya masih mampu lah bayar tol dan naik mobil sendiri. Coba bagaimana nasib orang miskin yang kini kian hancur-hancuran terhimpit pelayanan transportasi publik yang kian buruk. Nyawa menjadi kian murah.
Pendidikan? Amit-amit. Orang kaya bisa saja mengirim anaknya ke sekolah swasta atau ke luar negeri. Yang miskin terpaksa ke sekolah negeri yang sudah lama jadi sarang korupsi.
Nah, sudah jelas kan. Pemerintah kesulitan cash flow untuk menyelamatkan ekonomi (baca: orang-orang kaya). Bebannya kudu dipikul lebih berat oleh orang miskin.
Jadi, mana lebih enak solusi Argentina --semuanya jadi miskin hancur-hancuran-- atau solusi ala Indonesia yang orang kaya makin kaya, pejabat makin korup dan kaya, dan partai politik kian gendut kasnya. Lantas semua itu rekening tagihan dibayar oleh orang miskin, yang sekarangn ini untuk hidup sehari-hari saja sudah memikul beban yang lebih berat.
Maka marilah kita pekikkan; HIDUP ORANG MISKIN INDONESIA, yang sudah mensubsidi pejabat negara yang korup dan para orang kaya.
***
esei Rasio Sastra, Mengenang Pramoedya Ananta Toer
M. Arpan Rachman
“Setiap manusia yang hidup akan menemui kematian…”
Pramoedya Ananta Toer adalah sastrawan yang menjelma bagai sebuah ikon tentang kebebasan yang dibungkam. Sebagai pengarang, dia mendapatkan nama besar dari penjara ke penjara, menjadi orang hukuman. Mula-mula dijebloskan pada Aksi Militer I Belanda, kemudian ditahan dan dibuang oleh rezim yang pernah berkuasa di Indonesia.
Di penjara lahir sebagian besar cerita-ceritanya yang terbaik. Cerita-cerita itu antara lain telah diterjemahkan ke berbagai bahasa di dunia. Banyak silang-sengketa masih meliputi sosok Pramoedya Ananta Toer sebagai pribadi. Apa sebenarnya alasan rezim penguasa sampai membuangnya ke dalam kamp konsentrasi di Pulau Buru?
“Memiliki seorang pengarang besar bagi rezim yang berkuasa, sama halnya dengan mempunyai sebuah pemerintahan yang lain,” kata Alexander Solzhenitzyn, sastrawan Rusia yang juga pernah dibuang penguasa. Mungkin saja terpenjaranya pramoedya dan Solzhenitzyn dapat dihubungkan: karena sama-sama mempunyai nama besar sebagai “pemerintahan yang lain” yang mengeluarkan komunike melalui karya-karya sastra. Dan pertanyaan tersebut dianggap terjawab.
Membaca kumpulan cerita pendek Pramoedya Ananta Toer berjudul Percikan Revolusi+Subuh ternyata dapat juga menerbitkan rasa haru yang mendalam. Cerpen-cerpen yang dalam kata pengantar HB Yassin, “…terkarang semasa pengarang(nya) berada dalam tahanan semenjak aksi militer-I tanggal 21 Juli 1947 sampai tahun 1949.”
Memadukan dua judul kumpulan berbeda yang pertama kali terbit di tahun 1951. Berisi dua belas judul cerpen yang ditulis dalam langgam ekspresif: karya pengarang kawakan yang pada suatu zaman buah pikirannya pernah diberangus dan dilarang karena dianggap subversif dan melawan kekuasaan.
Beberapa di antara cerpen-cerpen itu sarat dengan muatan aspek religiusitas yang seperti mengesahkan diktum: pada awal mula, segala sastra adalah religius (YB Mangunwijaya, 1992). Muncul firasat pramoedya akan akhirat, misalnya …Sekiranya kulit bumi ini merendah dan kemudian air samudera menggenang dahsyat–manusia akan seperti semut disiram air panas…(halaman 28: cerpen berjudul Gado-gado) yang menyiratkan nuansa tentang hari kiamat.
…Peluru musuh yang seperti kunang-kunang beterbangan, tak sebuah pun yang mengenainya. Tuhan masih melindungi…(60: Ke Mana) yang mengandung pengertian bahwa sang tokoh adalah orang yang mempercayai adanya kekuatan Yang Maha Kuasa.
Atau, …Dengan tiba-tiba saja mereka yakin akan adanya Tuhan… (69: Kemelut). Tokoh Abdul dan Maliki adalah dua nama Islami (75: Masa). Percakapan antara Karel dan Willem: dua orang Nasrani (81-97: Orang Baru).
…Dan barulah aku mengerti: ia bersembahyang…(104: Kawanku Se-Sel).
…Tapi yang aneh: doa dan harapanku supaya tak lagi bertemu dengannya terkabul. Aku telah berdosa padanya… (167: Jalan Kurantil 28).
…Dan Tuhan yang satu dan tak terpecah-belahkan itu dipinta untuk memenangkan dua pihak yang bunuh-membunuh: puncak kebebalan manusia! (180: Dendam).
Cerpen-cerpen itu bercerita banyak tentang religiusitas sebagai bagian gagasan yang hendak disampaikan pengarangnya. Terlepas dari masih adanya silang-sengketa sementara kalangan terhadap pramoedya Ananta Toer yang dulu pernah dihujat karena ditengarai mengekang kebebasan sesama sastrawan. Sekarang di jalan-Nya yang lapang, tentu Pram dengan sendirinya termaafkan.
Rasio yang dapat dijadikan sebagai kacamata mikroskopis tentang sastra yang merupakan wujud emblematik kebudayaan literer yang hidup di dalam masyarakat sekaligus sebagai locus genus bermuara pada khasanah budaya Melayu karena dari kebudayaan tersebut bangsa Indonesia memiliki bahasa ibu, yakni dengan menerapkan karya sastra menjadi logos keilmupengetahuanan bagi generasi muda sejak usia dini sebab dengan cara itulah sastra benar-benar bisa menjadi hak-milik intelektual yang dapat diteoretisasikan dan dipraktikkan serta dipelajari dan diabadikan.
Bangsa yang besar ini tentu tidak ingin mengulangi sejarah buruk berbagai khasanah budaya sastra tutur yang diliterasikan secara oral pada zaman dahulu kala, tetapi jangankan gagasan menjadikannya sebagai salah satu materi pembelajaran untuk umum, bahkan upaya-upaya pendokumentasiannya pun seringkali tidak kunjung dilakukan secara teliti dan memadai, sehingga banyak karya dari khasanah budaya tersebut akhirnya hilang ditelan zaman.
Bila pandangan negatif seperti yang dikatakan Solzhenitzyn terus dibiarkan, secara ironis karya kesusastraan termasuk cerpen-cerpen pramoedya Ananta Toer akan tinggal sebagai artefak budaya akulturasi belaka: karya-karya kesusastraan yang dilestarikan oleh orang asing di dalam museum dan ruang pembicaraan publik di negeri mereka saja.
Tetapi sejarah perunutan kelestarian sebuah karya, terutama karya-karya kesusastraan, tidak mungkin dapat menampik asal-usulnya sendiri sebagai bagian dari “sesuatu yang hilang”. Soalnya mungkin saja sastra Latin adalah hasil proses akulturatif juga: sebuah locus genus yang berawal entah dari mana kemudian terbawa angin hingga ke jalan menuju Roma, yang dapat dijejaki pembentukannya sejauh sejak huruf hiroglif pertama ditemukan.
Lalu jejak rasio sastra merentang jalinan the-missing-link panjang sampai kepada khasanah Melayu, yang tidak lebih dari pengembangan salah satu cabang sinologi dengan unsur kental hinduisme karena menurut sejarah (lagi-lagi!) nenek-moyang kita berasal dari India Belakang atau Yunan --salah satu provinsi miskin di Cina sekarang–yang kemudian berinteraksi dengan kaum pedagang Gujarat (karena itulah maka kita dikenalkan oleh kaum orientalis sebagai Hindia). Atau estimatika lain: kita dan dan sastra kita sebenarnya merupakan bagian pemberontakan terstruktur yang bercampur-baur dalam proses kebanalan, sehingga menjadi genre berciri khas timur yang eksotis dan penuh dengan misteri.
Sastra dalam masyarakatnya, memang harus hidup tanpa menengahi atau menyingkirkan bidang-bidang kehidupan lainnya, terkecuali politik dan kekuasaan yang berlangsung serba-salah atau berat-sebelah sebab kesusastraan ada (hadir) bukan untuk mengada-ada, melainkan hanya sekadar penanda ingatan kolektif zaman sebelum masyarakat di tempat mana sastra itu tumbuh, terjerumus ke dalam situasi dead man society atau mati suri teladan (Fajrullah, 2004).
Karya-karya para empu di zaman kejayaan kerajaan-kerajaan di nusantara klasik misalnya, barangkali tidak lebih bernilai susastra daripada karya-karya anonim yang memasyarakat di luar tembok istana. Bukankah belum tentu kitab Kalatida lebih baik secara sastrawi dibandingkan dengan kitab-kitab pasaran tanpa nama terbuat dari daun lontar tua yang dibaca luas rakyat kebanyakan? Atau syair Abdul Muluk karya Raja Ali Haji mungkin tidak lebih cemerlang nilai sastranya ketimbang Zubaidah Sitti dari empu Al Lintani, misalnya?
Seperti banyak juga dikenali ahli sastra yang tidak berambisi menjadikan dirinya termasyhur sebagai sastrawan. Seperti halnya banyak dijumpai ilmu tafsir terhadap naskah-naskah kesusastraan yang kemudian akhirnya mengetengahkan karya sastra ditafsirkan bukan sebagai berhala.

***