Wawancara dg ROMLI ,S.A, MA, Wakil Ketua PW Muhamadiyah Sumsel
HALAL HARAM FACEBOOK, TERGANTUNG YANG MENGGUNAKAN
Beberapa lembar surat pengaduan orang tua seketika melayang ke meja Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Jawa Timur. Jumlahnya lebih dari 50 surat yang berasal dari sebagian orang tua. Inti suratnya, keberatan terhadap hadirnya facebook. Kontan saja ragam pengaduan ini mendapat respon dari kumpulan agamawan itu. Tetapi di satu pihak, fatwa haram facebook mendapat reaksi protes dari sebagian pengguna face book.
Masalahnya kemudian, bagaimana MUI sebagai lembaga pemegang ‘amanat fatwa agama’ harus dapat mengeluarkan ‘petuah’-nya tanpa harus merugikan hak kebebasan berekspresi pengguna facebook. Tentang hal ini, Imron Supriyadi dari Majalah PRESTASI gemilang, meminta tanggapan Dr.Romli, SA.MA, Wakil ketua PW Muhammadiyah? Berikut petikannnya;
Belakangan, ada rumor tentang fatwa haram fece book. Komentar anda?
Segala sesuatu sangat tergantung fungsi dan kegunaannya. Jangankan facebook. Hand Phone, internet dan fasilitas komunikasi lainnya bisa saja akan berakibat buruk bila tidak digunakan sebagaimana mestinya, sesuai dengan kegunaan dan fungsinya. Kalau sekarang ada rumor pengharaman facebook, nanti berbagai fasilitas terknologi seperti ponsel, internet dan sejenisnya bisa juga haram.
Menurut anda, kira-kira apa yang menyebabkan munculnya gagasan fatwa haram terhadap face book?
Dalam konsep fiqih itu ada istilah; sesuatu yang lebih banyak mudharatnya (membawa pengaruh buruk-red) maka harus dihindari. Menurut saya, mungkin ini berdasar pada kamanfataan dan mudharat facebook itu sendiri. Sebab, ada ke-khawatiran sebagian orang tua kalau-kalau facebook ini kemudian digunakan tidak pada semestinya, sehingga facebook lebih baik ditiadakan. Ini versi orang tua yang keberatan terhadap facebook. Tetapi sepanjang fasilitas komunikasi sejenis facebook atau alat komunikasi lainnya tidak diselewengkan dalam pemanfaatannya maka tidak mesti diharamkan.
Menurut anda face book lebih banyak manfaat atau mudharat?
Saya katakan tadi, semua tergantung manusia yang menggunakan. Kalau kemudian diharamkan, bukan facebooknya yang haram, tetapi penyimpangan dalam menggunakan facebook itu yang haram. Artinya, semua fasilitas teknologi yang saat ini berkembang tetap berpotensi untuk disimpangkan fungsinya. Makanya, sekarang tinggal bagaimana orang yang memanfaatkan fasilitas itu, akan tetap dalam koridor ajaran dan nilai-nilai kebaikan atau malah seballiknya. Jadi dalam masalah ini bukan facebook secara fisik yang kemudian menjadi haram, tetapi perilaku manusia yang melakukan penyimpangan dalam menggunakan facebook itu yang kemudian tidak boleh.
Ada permisalan atau analogi yang bisa dicontohkan?
Misalnya saja. Mohon maaf ya. Facebook, kalau kita umpamakan dengan organ vital manusia bisa menjadi haram ketika organ vital ini digunakan untuk berzina. Tetapi ketika organ vital manusia ini disalurkan melalui akad pernikahan terlebih dahulu, jelas akan menjadi bagian rahmat bagi pasangan suami istri. Dan itu halal. Dengan permisalan ini bukan kemudian kita haram memiliki organ vital, tetapi menyimpangkan kegunaan organ vital manusia itu yang haram, karena melanggara tata aturan dan nilai-nilai agama. Jadi halal dan haramnya organ vital manusia bukan pada kepemilikan bendanya, tetapi pemanfaatan yang bersangkutan yang mesti dikontrol dengan aturan main yang jelas, yaitu melalui pernikahan supaya tidak terjebak dalam perzinaan, demikian pula dalam konteks facebook ini.(*)
FACEBOOK TERGANJAL MORAL?
Bagi sebagian masyarakat yang sering bersentuhan dengan teknologi, sudah pasti tidak asing lagi dengan fasilitas facebook di internet. Tetapi dugaan ini ternyata meleset. Sebab, masih banyak diantara pengguna internet, yang asing dengan facebook. Bahkan sebagian diantara mereka ada sebagian praktisi akademis di kampus di sekolah.
Tapi keterasingan mereka bukan lantaran mereka tidak mau tahu, melainkan tingkat kesibukan akademis yang sudah banyak menyita waktu, sehingga tidak sempat lagi menggunakan fasilitas facebook. Bagi pengguna internet yang masih belum kenal dengan facebook, tidak usah khawatir, sebab PRESTASI gemilang pada edisi kali ini akan mengajak pembaca untuk mengnal sepintas tentang facebook. Dalam catatan di media onlie, facebook diluncurkan pertama kali pada tanggal 4 Februari 2004 oleh Mark Zuckerberg sebagai media untuk saling mengenal bagi para mahasiswa Harvard.
Facebook yang merupakan situs jejaring sosial, memang menjadi fenomena tersendiri di dunia maya. Dengan menafaatkan facebook tersebut, orang-orang dapat dengan mudah bersosialisasi tanpa dipengaruhi oleh jarak. Facebook, yang diciptakan oleh Mark Zuckerberg, seorang lulusan Harvard pada awalnya menciptakan facebook hanya untuk kalangan terbatas para siswa Harvard College. Tetapi seiring dengan berjalannya waktu, maka penggunaan facebook ini diperluas ke beberapa Universitas atau College yang pada akhirnya seluruh penduduk dunia dapat mengakses serta menggunakan situs jejaring sosial yang bernama Facebook ini. Menjadi fenomenal memang, dimana Mark Zuckerberg yang bernama asli Mark Elliot Zuckerberg seorang pria muda kelahiran 4 Mei 1984 dapat membuat suatu konsep yang brillian tentang suatu website jejaring sosial yang menggunakan konsep foto untuk pembuatannya.
Dalam waktu dua minggu setelah diluncurkan, separuh dari semua mahasiswa Harvard telah mendaftar dan memiliki account di facebook. Tak hanya itu, beberapa kampus lain di sekitar Harvard pun meminta untuk dimasukkan dalam jaringan facebook. Zuckerberg pun akhirnya meminta bantuan dua temannya untuk membantu mengembangkan facebook dan memenuhi permintaan kampus-kampus lain untuk bergabung dalam jaringannya. Dalam waktu 4 bulan semenjak diluncurkan, facebook telah memiliki 30 kampus dalam jaringannya.Dengan kesuksesannya tersebut, Zuckerberg beserta dua orang temannya memutuskan untuk pindah ke Palo Alto dan menyewa apartemen di sana.
Facebook yang merupakan sebuah website social networking sampai saat ini ramai dibicarakan dan digemari oleh semua kalangan masyarakat, termasuk mulai menjadi perhatian pengguna internet di Indonesia. Keberadaan facebook memang cukup mengejutkan dengan tingkat pemakai yang cukup besar termasuk Indonesia. Akan tetapi, kehadiran facebook diibaratkan seperti dua mata uang ada yang positif dan ada yang negatif. Facebook dapat dijadikan sebagai sarana menyambung komunikasi antara seseorang dengan orang lain yang bisa saja selama ini mereka sudah jarang atau tidak pernah bertemu lagi, karena di pisahkan oleh waktu maupun jarak.
Maraknya pengguna facebook dengan bermacam fasilitasnya ini, tidak sedikit dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu untuk melakukan komunikasi yang menurut sebagian orang tua keluar dari ”rel” kebaikan. Misalnya untuk sesuatu yang berbau pornografi dan esek-esek. Dari sinilah kemudian puluhan orang tua kemudian mengirim surat ke MUI Jawa Timur untuk menyatakan keberatan terhadap hadirnya facebook.(*)
”FACEBOOK, DIA DISETIR BUKAN DIA MENYETIR”
Wawancara Dengan H.Legawan Isa, M.A,
Dosen IAIN aden Fatah Palembang
Laporan Romi Maradona
Beberapa waktu yang lalu masyarakat sempat dihebohkan oleh Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengharamkan rokok, kini giliran facebook yang diharamkan. Namun pengaharaman facebook ini banyak menuai kontroversi. Pengharaman situs ini berawal dari Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri (FMP3) se-Jawa Timur yang terdiri atas delegasi santri putri mereka mengharamkan penggunaan jejaring sosial, seperti friendster dan facebook, serta pesan singkat lewat ponsel (SMS) dan 3G (telepon video) jika digunakan secara berlebihan.
Dalam pertemuan lain, tepatnya pada 20-21 Mei 2009 telah dilakukan pertemuan di Pondok Pesantren (Ponpes) Lirboyo Kediri yang dihadiri oleh perwakilan dari 50 Ponpes di Jawa Timur dalam rangka pertemuan para anggota bahtsul masail yang membahas salah satu hukum penggunaan internet. Salah satu keputusan dari pertemuan tersebut adalah memberi putusan bahwa facebook (situs jejaring sosial) yang sangat populer hukumnya haram. Tapi dengan catatan jika digunakan sebagai media untuk mendapat pacar atau mencari calon istri.
Dalam soal ini, Mukhlisin salah seorang mahasiswa Indonesia yang kuliah di salah satu Universitas di Yaman mengatakan, kita tidak bisa menentukan tentang halal dan haramnya facebook. Sebab, masalah halal dan haram hanya bisa ditentukan bila ada dalil, baik dari Al-quran maupun As-sunnah.
Ia juga menambahkan, perkara selain yang dihalalkan atau di haramkan oleh Al-quran dan hadis adalah perkara yang mubah atau dibolehkan. Akan tetapi, perkara yang mubah itu bisa menjadi haram kalau kita menggunakanya untuk sesuatu yang haram. Begitupun sebaliknya, sama seperti makan nasi hukum makan adalah mubah atau dibolehkan. tetapi kalau makanya terlalu berlebihan hingga membuat diri kita mati maka makan itu menjadi haram.
Sementara, Sukmawati salah seorang mahasiswi lain mengatakan, kita jangan menutup diri mengenai hal ini. Karena itu bisa membuat kita ketinggalan informasi atau memiliki pemikiran yang kurang berkembang. Padahal, banyak juga hal positif yang bisa kita peroleh dari ber-fecebook (FB). “Misalnya bertemu dengan kawan lama maupun kawan baru, bisa sharing ilmu dan info yang positif, asal pintar-pintar kita saja menyaring hal-hal negatif dari facebook, dan jangan sampai lupa waktu hanya gara-gara facebook.
Seiring dengan itu, H.Legawan Isa, Dosen IAIN Raden Fatah Palembang mengatakan, facebook itu benda mati. Sifatnya benda mati itu disetir manusia, bukan facebook yang menyetir kita. Masalah haram dan halal itu tergantung penggunaanya. Dengan facebook, kita bisa menjalin silaturahim dengan teman yang jauh. Ia juga menambahkan, situs ini juga bisa menjadi haram jika menguntungkan musuh-musuh Islam yang mana, dana yang didapat dari situs ini dibuat untuk memerangi Islam seperti pengharaman produk-produk Amerika(*)
FACEBOOK, HALAL ATAU HARAM?
Berawal dari kekhawatiran beberapa kalangan, khususnya para orang tua yang menyampaikan kepada MUI mengenai Facebook yang dikhawatirkan menjadi ajang atau biang dari perselingkuhan dan perzinahan sehingga MUI berinisiatif untuk mengeluarkan fatwa haram facebook. Ada apa dengan facebook sebenarnya?
Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan bahwa facebook bisa menjadi haram dan tidak haram. Menurut mereka, facebook haram tergantung dari cara pemakaian. Kalau tujuan baik dan benar, maka tak ada larangan menggunakannya, tapi sebaliknya, bila untuk tujuan negatif maka haram. Jadi itu semua juga kembali kepada kita sebagai pengguna facebook. Jika kita mempunyai keinginan untuk menggunakan facebook untuk melakukan aktifitas yang negatif mungkin saja kita dapat mengatakan bahwa facebook itu haram, dan jika kita menggunakan facebook dengan menjalin tali silaturahmi antar sesama maka facebook mungkin belum dapat dikatakan haram.
Menurut MUI, keprihatinannya terhadap adanya situs pertemanan seperti facebook, karena timbulnya hal-hal di dunia maya yang dirasa tidak sejalan dengan hukum Islam dan mengandung banyak kontroversi. (SuaraMedia News). Berdasarkan data internal yang dimiliki Lembaga Independen Pusat Operasional Facebook (LIPOF), Palo Alto California, Amerika Serikat menyebutkan dari 235 juta masyarakat Indonesia, sekira 813.000 pengguna facebook.
Melejitnya para pengguna facebook di Indonesia ini menyulut kekhawatiran sekira 700 tokoh muslim di Surabaya, Jawa Timur untuk segera mengeluarkan fatwa terhadap facebook. Mereka menilai menjamurnya jejaring sosial tersebut dirasa akan memberikan dampak negatif bagi umat muslim Indonesia dan dapat digunakan untuk transaksi seks terselubung.
"Para tokoh muslim atau Imam di Indonesia berpandangan sebaiknya ada fatwa atau batasan aturan dalam jejaring sosial maya, dimana dalam pandangan mereka pergaulan terbuka mampu mengundang birahi atau hasrat yang di dalam ajaran Islam diharamkan," ujar juru bicara Pondok Pesantren Lirboyo, Jawa Timur, Nabil Haroen seperti dilansir Assosiation Press, pekan lalu.
Sesuai ajaran muslim, cara mengantisipasi dari hal yang tidak diinginkan, pihak pesantren masih memperbolehkan para siswanya terdaftar sebagai pengguna facebook, namun dengan batasan penyaringan dari situs yang berbau porno atau yang mengundang syahwat birahi.
Senada dengan Nabil, anggota MUI lainnya, Amidhan mengatakan dengan bertambahnya pengguna facebook memungkinkan peluang terbukanya pembicaraan pornografi, dan meningkatnya tingkat perselingkuhan di Indonesia yang tidak sesuai dengan ajaran budaya timur.
Sementara itu, menanggapi kontroversi keberadaan facebook, juru bicara facebook, Debbie Frost menyatakan, keberadaan situs pertemanan itu adalah jejaring sosial maya yang memudahkan para penggunanya untuk selalu berkomunikasi dan berhubungan satu sama lain, dalam agenda yang positif.
Secara pribadi, Amidhan menilai situs pertemanan itu tidak selalu berdampak negatif. Dengan catatan, tergantung kepada penggunanya. "Kalau digunakan murni untuk kebaikan, saya kira tidak ada masalah tapi kalau menimbulkan hal-hal tidak baik dan negatif ya harus ditindak," tuturnya. Jika nantinya kontroversi mengenai facebook ini terus mengemuka, menurut Amidhan, MUI akan membahasnya lebih lanjut. Namun diakuinya, MUI tidak bisa berbuat banyak. "Kita kembali ke pemerintah untuk membatasi hal-hal negatif itu, MUI hanya bisa mencegah," tuturnya.
Selain itu, facebook bisa menjadi haram apabila digunakan untuk sesuatu yang bersifat porno alias bokep. Tidak hanya facebook tapi semuanya diinternet yang digunakan untuk hal negatif hukumnya haram. Bahkan para kiyai Jawa Timur telah konon tengah menyusun team untuk membahas khusus penggunaan internet dan menghukuminya dalam kacamata fiqih. (net/okz/s.med)
TERORISME DAN REKAYASA AMERIKA
Oleh Imron Supriyadi
(Penulis adalah Jurnalis di Palembang)
Lennin, tokoh komunis dunia, pernah mengemukakan; musuh terbesar setelah tumbangnya komunisme adalah Islam. Kalimat ini kesannya usang, tetapi bagi kelompok anti Islam, pernyataan Lennin inilah yang kemudian tetap menjadi pijakan bagi sekutu musuh Islam, untuk terus menerus mengobarkan anti Islam.
Historis kekalahan kaum Yahudi dalam perang Salib meski sudah klise dibicarakan, tetapi sejarah sakit hati itu tidak akan habis oleh pergesaran zaman dan waktu. Bahkan dengan sejarah itulah, dalam setiap generasi ke generasi sekutu musuh Islam terus menerus melakukan doktrin, bahwa Islam adalah musuh terbesar setelah komunis tumbang.
Sedemikian kuat doktrin itu, sedemikian kuat pula kelompok anti Islam akan tetap melakukan serangan terhadap Islam dalam bentuk dan dengan cara apapun. Amerika sebagai negara super power juga menjadi bagian dari mesin penggerak anti Islam di dunia, meski pada fakta lain pusat gerakan Islam internasional (Islamic Centre) juga berada di negara adidaya ini. Tetapi dibalik itu, sikap permusuhan Amerika bersama sekutunya terhadap Islam tetap saja tersimpan dalam catatan sejarah. Tentunya, sejarah ini akan selalu menjadi pijakan dalam setiap gerakan di beberapa negara (baca; umat Islam) di dunia untuk melemahkan kekuatan gerakan Islam, sebagai bagian dendam sejarah Yahudi dalam kekalahan Perang Salib.
Dalam konteks kekinian, serangan Amerika (anti Islam) terhadap kekuatan Islam, tidak dilakukan melalui pendekatan militer sebagaimana kretika Amerika melumpuhkan komunis, meski dalam sejarah Amerika juga sempat kalah oleh Soviet. Mengiringi perkembangan zaman, kecerdasan Amerika yang kemudian menyedot perhatian dunia internasional dimanfaatkan Amerika untuk melakukan serangan terhadap kekuatan Islam melalui berbagai dimensi. Di Indonesia salah satunya, Amerika menyerang Islam melalui politik, sosial dan kebudayaan.
Film, fashion, club-club malam, minuman keras, cafee remang-remang, pergaulan bebas dan sejenisnya telah menjadi senjata ampuh Amerika untuk mengobarkan anti Islam terselubung. Korbannya siapa lagi kalau bukan generasi Islam sendiri. Dengan kata lain, secara fisik Amerika tidak membombardir mortir dan mesiu di Indonesia, tetapi menyitir pernyataan almarhum WS Rendra, secara ideologis, kebudayaan, politik dan ekonomi, bangsa ini sudah 80 persen dikuasai negeri Paman Sam dan sekutunya. Contoh kecil saja, di rumah kita bisa memotong satu erkor ayam dengan membelinya di pasar seharga 30 ribu rupiah. Tetapi karena ada sikap gengsi, kita sering memilih membeli ‘ayam instan’ siap saji ala Amerika (KFC) di beberapa Mall kota besar.
Terlepas dari perspektif performant art (keindahan garapan seni), berapa banyak film produk Amerika yang secara gamblang menabur keburukan Islam di mata dunia internasional. Belum lagi siaran televisi Indoneia yang cenderung ‘meniru’ bahkan meng-impor Amerika dengan bermacam program dari A sampai Z, tanpa menimbang dampak moral yang ditimbulkan dari acara tersebut. Pakaian, pergaulan dan masih banyak lagi simbol-simbol Amerika yang ditelan mentah-mentrah oleh generasi bangsa ini, bukan remaja tetapi juga kalagan tua sudah menjadi trend dan gaya hidup.
Terhadap munculnya teroris, menurut saya juga menjadi bagian setting Amerika untuk menghancurkan Islam di mata dunia. Sudah menjadi sejarah, dalam setiap gerakan politik di belahan dunia manapun, Amerika selalu berada dibalik semuanya, baik berlatarbelakarang ekonomi, sosial, politik bahkan agama. Dalam konteks politik Indonesia, kejatuhan Bung Karno juga sangat kental keterlibatan Amerika (Keterlibatan CIA dalam Kejatuhan Soekarno ; 2009). Kemudian kejatuhan Gus Dur, juga tidak lepas dari urun rembug Amerika di belakangnya, termasuk naiknya SBY sangat mungkin Amerika juga terlibat di dalamnya, meski masih memerlukan kajian lebih detil.
Upaya Amerika menciptakan terorisme di Indonesia diduga kuat dimulai sejak pemerintah Indonesia melarang bantaun langsung dari luar negeri ke kantong-kantong Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), pasca jatuhnya Orde Baru. Di masa itu, beberapa lembaga donor yang notabene-nya corong Amerika demikian gencar menggulirkan dana bantuan ke berbagai lembaga swasta. Tujuan awalnya untuk mengampayekan demokratisasi di Indonesia melalui beberapa LSM. Hampir semua gerakan untuk mendorong demokrasi Indonesia didanai melalui berbagai kegiatan.
Guliran dana ini kemudian masuk pula ke beberapa lembaga Islam, baik Islam yang beraliran moderat, abagan, santri maupun aliran tradisional. Di satu sisi, selain menggulirkan dana, dalam konteks ideologis Amerika juga menggulirkan ‘tafsir-tafsir sekuler’ terhadap pemahaman agama Islam, melalui beberapa tokoh Islam yang sebelumnya sudah didanai secara gratis (beasiswa) untuk menempuh studi di Amerika. Sepulang di Indonesia, beberapa tokoh kemudian menebar sekulerisasi, baik melalui seminar maupun dalam institusi pendidikan. Intinya, Amerika menginginkan adanya benturan antara Islam tradisional dan Islam moderat dengan menggulirkan isu-siu baru. Ketika pertentangan dua kubu Islam terjadi, Amerika kemudian menciptakan isu baru, baik yang berhubungan langsung dengan konflik Islam itu sendiri atau dengan isu lain yang sama sekali tidak berhubungan dengan agama.
Dalam hal terosrisme, ketika kemudian di era Megawati didesakkan menjadi Undang-Undang, semua juga tidak lepas dari intervensi Amerika. Bahkan penahanan Abu Bakar Ba’asyir juga bagian dari setting Amerika. Targetnya, Pengasuh Pondok Pesantren Ngruki ini harus ditahan sebagai bagian pelaku teror, meski dengan alasan yang tidak cerdas, yaitu bepergian ke Malaysia tanpa paspor. Munculnya Ba’asyir sebagai narapidana politik, sedikit banyak telah menciderai umat Islam, khususunya kalangan pesantren. Tujuan Amerika bukan ingin menghancurkan pesantren secara sporadis melalui gerakan militer, tetapi menciptakan publik opini di masyarakat, pesantren adalah sarang teroris. Terget ini berhasil, ketika kemudian Indonesia dengan segenap aparatnya melakukan inspeksi ke setiap pesantren. Apa yang timbul kemudian? Masyarakat tidak ingin memasukkan putra-putrinya ke pesantren, karena dalam faktanya beberapa pelaku teroris mayoritas almunus pesantren. Sikap sebagian masyarakat yang anti persantren inilah yang sebenarnya menjadi target Amerika, dalam upaya menggerogoti kader-kader militan Islam. Ada upaya de-moralisasi agama di dalamnya.
Dalam catatan lain, Amerika sedemikian kental dikenal sebagai negara yang selalu berdiri diantara dua kaki (standar ganda). Di satu sisi mengampayekan HAM dan demokrasi, tetapi di sisi lain Amerika juga yang melanggar HAM dan demokrasi dengan beberapa gerakan militernya di beberapa negara Islam tanpa kompromi. Dengan fakta ini, bukan tidak mungkin gerakan teroris ini juga bagian dari setting (strategi) Amerika untuk menghancurkan Islam. Pertanyaannya adalah, kalau ini setting Amerika tetapi mengapa banyak orang Amerika juga yang menjadi korban bom dari teroris? Sekali lagi, dari awal saya sebutkan, Amerika adalah negara yang berstandar ganda, oleh sebab itu Amerika tidak segan-segan juga mengorbankan warganya sendiri dengan mengambingtamkan orang lain (kalangan Islam), selagi target dan tujuannya tercapai.
Dengan analisa ini, boleh saja orang beranggapan ini adalah tuduhan yang tidak berdasar. Tetapi sangat mungkin, tokoh teroris yang kini menjadi otak pengeboman di berbagai negara bukan semata-mata jihad, tetapi ada target material, yang sama sekali tidak diketahui oleh para ‘pengantin’ yang siap mengenakan bom bunuh diri atas dasar membela Islam. Menyitir kalimat seorang tokoh politik, ada lelucon, Noordin M Top memang bukan untuk ditangkap tetapi untuk dicari, supaya paket senjata ke pelaku teroris tetap berjalan, sekaligus dapat menggerakkan roda perekonomian Amerika melalui pengiriman peralatan militer ke kelompok teroris di beberapa negara. (Palembang, 15 Agustus 2009)
SMK VS PESANTREN
A. Madjid,M
Guru Kaligrafi Indonesia di Sumsel
Harga Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) saat ini seolah sedang melambung. Tak beda jauh dengan harga sembako, yang kian hari juga terus membumbng tinggi, seiring dengan janji-janji elit politik yang akan menaikan gaji pegawai di semua bagian dan eselon. Maraknya perbincangan SMK ini, tidak lepas dari gagasan Mendiknas yang pada 2015 ditargetkan menjadi 70%. Sementara SMA hanya 30%. Katanya, gagasan ini untuk mengurangi jumlah pengangguran.
Saya setuju dengan gagasan itu. Sebab, dengan makin banyaknya jumlah SMK minimal dapat menambah Sumber Daya Manusia (SDM) terampil yang siap masuk dalam dunia kerja. Ini menjadi penting, sebab dalam catatan saya banyaknya perguruan tinggi juga tidak kemudian mengurangi jumlah pengangguran. Malah sebaliknya, ada tuduhan, perguruan tinggi juga turut andil dalam menyumbang jumlah pengangguran. Tidak sedikit diantara sarjana yang menganggur dan kalah oleh alumnus SMK, meskipun mereka hanya menjadi buruh bangunan. Tetapi dalam bidang tertentu, alumnus SMK lebih siap dari pada alumnus perguruan tinggi. Bahkan, alumnus perguruan tinggi tidak jarang harus menjadi ‘tenaga administratif’ di sebuah pesantren yang dipimpin oleh seorang modin tamatan Aliyah, setingkat SMA.
Mengapa saya berani mengatakan itu? Sekarang kita buat persentase, berapa banyak almunus perguruan tinggi yang kemudian mendirikan lembaga pendidikan setingkat taman kanak-Kanak (TK), dengan alumnus pesantren yang juga sanggup mendirikan pesantren? 60% alumnus pesantren menyebar ke berbagai daerah di Indonesia dan membentuk pengajian kecil, yang secara bertahab menjelma menjadi pondok pesantren. Lantas berapa banyak alumnus perguruan tinggi yang mampu melahirkan lembaga pendidikan TK, kursus dan lain sebagainya setelah selesai menjadi sarjana? Apalagi perguruan tinggi?
Sepertinya, konsep pesantren dengan segala disiplin ilmu dan ketatnya aturan di dalamnya, paling tidak dapat menjadi inspirasi bagi keberlanjutan gagasan Mendiknas ini. Maksud saya, tidak mesti SMK menjadi pesantren, tetapi penerapan disiplin versi pesantren bisa menjadi acuan dasar bagaimana menanamkan mentalitas membangun, sistem (lembaga) sendiri diluar sekolah kepada peserta didik, bukan malah menjadi mengantarkan peserta didik menjadi ‘peminta bangunan’ tanpa ada keinginan untuk mendirikan bangunan sendiri setelah mereka tamat.
Perlunya belajar dari pesantren ini, bukan pada sisi fisik dan sistemnya saja, tetapi jauh lebih penting lagi adalah bagaimana menanamkan rasa malu ketika berbuat tidak baik di luar sekolah. Dalam tradisi pesantren, sudah terbiasa bila kemudian ada santri yang mengatakan ; saya malu melakukan seperti itu, sebab saya muridnya kiai si A. Jadi saya tidak pantas melakukan perbuatan itu. Atau saya malu kalau tidak bisa mengaji, sebab saya muridnya kiai si B.
Dalam pendidikan luar pesantren hampir tidak pernah dijumpai kalimat serupa, misalnya; saya malu berbuat seperti itu, karena saya alumni perguruan A, atau saya malu kalau tidak bisa mendirikan sekolah, sebab saya adalah murid dari rektor B. Pernahkah kita mendengar alumnus perguruan tinggi atau sekolah umum yang mengatakan itu? Kalaupun ada, hanya ada 1:1000 (satu banding seribu). Sepintas, ini terkesan ketakutan fisik pada kiai. Tetapi dengan kesadaran itu, menjadi satu pertanggungjawaban moral murid, bukan terhadap kiai dan lembaga tempat dia menimba ilmu saja, tetapi juga bertanggungjawab atas dirinya sendiri untuk berdikari sebagaimana yang diajarkan oleh kiai di pesantren.
Dorongan untuk memunculkan kesadaran itu, tentu harus dimulai dari setiap si pendidik (guru, ustadz dan dosen). Selama ini, peserta didik di sekolah dan di kampus, disibukkan oleh urusan akademik, persaingan nilai, IPK dan lain sebagainya. Belum lagi, materi di lembaga pendidikan juga cenderung mengarahkan peserta didik untuk menjadi pekerja setelah tamat sekolah atau kuliah, bukan menjadi pembuka lapangan pekerjaan. Hanya ada satu atau dua orang tenaga didik yang kemudian membangkitkan kesadaran pada peserta didik, bagaimana setelah tamat si peserta didik dapat berdiri dengan gagah, dan menepuk dadanya sendiri lalu berkata; inilah saya, bukan berbalik; inilah bapak saya!, membanggakan kebesaran nenek moyangnya.
Mengiringi gagasan Mendiknas itu, sepertinya memang perlu adanya pembentukan sistem baru, dalam arti tidak bisa seorang peserta didik sebatas mendorong di dalam sekolah, tanpa menciptakan sistem yang ‘memaksa’ murid untuk melakukan latihan secara rutin demi penguasaan bidang tertentu. Tidak bisa seorang pendidik sekedar memerintahkan murid untuk belajar mengarang, sementara murid dibiarkan liar tanpa ada sistem yang mengatur, kapan karangan dikumpul, kapan karangan dibuat dan kemana karangan diserahkan, sampai akhirnya akan bagaimana karangan itu setelah layak jual. Banyak hal yang memang harus dipertimbangkan kembali, mengiringi gagasan Mendiknas itu, termasuk bagaimana mendorong pemerintah agar membuka lapangan kerja seluas-luasnya, sehingga kita tidak kembali di tahun 80-an, ketidaksesuaian antara jumlah alumnus sekolah pendidikan guru dengan daya serap di berbagai sekolah.
Tetapi, diluar target besar yang menjadi tujuan akhir dari gagasan Mendiknas itu; mengurangi jumlah pengangguran, saya ingin mengatakan, untuk membangkitkan mentalitas peserta didik agar siap menjadi manusia mandiri adalah, bagaimana mendorong setiap peserta didik untuk menjadi orang yang bermanfaat bagi lingkungannya, sekecil apapun. Ini sesuai dengan apa yang dikatakan nabi, rahmatan lil ‘alamiin; membawa rahmat bagi lingkungan. Praktiknya dengan kegiatan ekstra, kegiatan kampus dan lain sebagainya. Bila kesadaran ini sudah melekat, maka Insya Allah usai menamatkan sekolah, tidak akan ada lagi peserta didik yang berdiam diri di rumah, hanya sekedar main game atau nongkrong di pinggir jalan tanpa ada manfaatnya. Sebab dalam hatinya telah tetanam, tugas manusia adalah menebar manfaat sebanyak-banyaknya pada diri sendiri dan orang lain, sekecil apapun!(*)
MENGAPA SMK SEBAGAI PILIHAN?
Oleh Drs. Haryadi, M.Pd.
Dekan FKIP Universitas Muhammadiyah Palembang
SMK, ”Cerdas, Siap Kerja, dan Berani Berkompetisi”
(Tantowi Yahya)
Langkah-langkah strategis untuk mendorong pertumbuhan jumlah SMK sudah digaungkan sejak tahun 2008. Hal ini sesuai dengan arahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam Rembug Pendidikan Nasional (RPN) pada Februari 2008 tentang penyeimbangan jumlah siswa SMK:SMA. Untuk menjadikan rasio jumlah siswa SMK:SMA adalah 67:33 pada tahun 2014.
Pada Tahun 2009 ini diharapkan mampu mencapai 50:50, maka Dinas Diknas kabupaten dan kota perlu melakukan kebijakan yang mendukung pencapaian target tersebut. Kebijakan itu dimaksudkan untuk mempercepat pertumbuhan Sumber Daya Manusia (SDM) tingkat menengah yang siap kerja, cerdas, dan kompetitif yang pada akhirnya akan mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Pada tahun 2012, Provinsi Sumatera Selatan membutuhkan sekitar 100.000 tenaga kerja. Sebagian besar dari angka itu diharapkan berasal dari lulusan sekolah menengah kejuruan (SMK) yang berkualitas (dialog Mendiknas, Gubernur dan Kepala Sekolah se-Sumsel). Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, Mendiknas mengemukakan, pengembangan SMK harus dipercepat, mengingat saat ini rasio SMA:SMK adalah 70:30. Bila perlu pemerintah daerah mengambil langkah untuk mengubah SMA menjadi SMK, terutama SMA yang dianggap “memble”. Lebih lanjut dikemukakan, “Seperti Sumsel, kaya dengan Sumber Daya Alam (SDA). Alangkah baiknya jika SMK pertambangan diperbanyak, sehingga nanti yang akan bekerja di bidang pertambangan semua putra daerah,” kata Mendiknas.
Pengembangan SMK
Gubernur Sumsel Alex Noerdin mengemukakan, perkembangan SMK juga merupakan perhatian yang sangat besar baginya. Rasio SMA:SMK 70:30 akan dibalik. Bahkan ke depan perkembangan SMK tidak akan dilakukann setengah-setengah. Sebagai contoh, SMK Negeri 6 yang sudah menyandang status Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI). Namun, perkembangannya masih sangat lamban, sehingga diperlukan dorongan (stimulus) dari pemerintah daerah untuk men-support pendanaan. SMKN 6 akan di tingkatkan sebagai sekolah modern dengan menjadikan SMKN 6 menuju standar Internasional dengan bantuan dan peranan BUMN.
Di samping itu, pengembangan SMK dipercepat pelaksanaannya untuk mendukung pembangunan Sumsel dalam empat tahun ke depan. Diperkirakan Sumsel membutuhkan tenaga kerja yang siap dengan keahliannya, sebanyak 100.000 orang. Sebagain besar diambil dari luklusn SMK. Oleh karena itu, menurut Alex Noerdin untuk program sekolah gratis dan berobat gratis sudah selesai. Fokus pembangunan di Sumsel sekarang adalah menyiapkan tenaga kerja. Dengan perekonomian yang meningkat, maka masyarakat Sumsel tidak akan ada lagi “pengangguran”.
Pada tahun 2009, Dinas Pendidikan Nasional Provinsi Sumatera selatan menganggarkan dana 7,2 Milyar untuk pembangunan Unit Sekolah Baru (USB) SMK. Satu SMK mendapatkan 1,2 Milyar. Menurut Drs. H. Tarmizi Mairu.,M.M, sekretaris Disdik Provinsi Sumsel mengatakan, enam SMK tersebut akan dibangun di daerah pemekaran Sumsel, di antaranya Kabupaten Empat Lawang, OKU Selatan, dan Lahat. Sedangkan menurut Budiyono, S.Sos, M.Si., Kepala Sub Bagian Penyuluhan Program Evaluasi dan Pelaporan, pembangunan SMK ditagertkan triwulan pertama tahun 2009 sudah mendapatkan SK Gubernur. Saat ini jumlah SMK di Sumsel berjumlah 135, terdiri dari 27 SMK Negeri dan 108 SMK Swasta, dengan total sebanyak 50.347 siswa. Sedangkan SMA berjumlah 418 sekolah, terdiri dari SMA Negeri 180 dan 238 SMA Swasta. Oleh karena itu, untuk mencapai target rasio yang ditetapkan pemerintah pusat, jumlah SMK ini masih rendah, sehingga perlu peningkatan dan pembinaan keberadaan SMK. Lebih lanjut dikemukakan bahwa di Sumsel memiliki 8 SMK Rintisan Bertaraf Internasional (RSBI). Terdiri dari Palembang tiga SMK (SMKN 6, SMKN 2, dan SMKN 4), Lahat satu SMK, Muara Enim dua SMK, dan Kayuagung dua SMK.
Mengapa SMK sebagai Pilihan?
Bagi anda yang mempunyai hobby, keahlian, dan mampu menekuni satu bidang tertentu, maka SMK adalah sebagai pilihan. Mengapa anda memilih SMK? ada beberapa alasan yang perlu dikemukakan mengapa SMK sebagai pilihan. Pertama, karena hobby dan ingin menjadi teknisi otomotif andal dan yang dicari pekerjaan, kreatif dan inovatif di bidangnya, serta bisa menjadi seorang wirausahawan dalam bidangnya.
Kedua, di dalam SMK terdapat jurusan dan konsentrasi yang dapat dipilih sesuai dengan keinginan. Misalnya, teknik audio (elektronik) secara khusus tujuan program keahlian teknik audio video adalah membekali peserta didik dengan keterampilan, pengetahuan, agar kompeten di bidangnya. Dengan penguasaan keterampilan ini, diharapkan akan menciptakan alumnus; (1) Dapat bekerja baik secara mandiri maupun mengisi lowongan pekerjaan yang ada di dunia usaha dan industri sebagai tenaga kerja tingkat menengah. (2) Dapat memilih karir, berani berkompetisi, dan mengembangkan profesionalitasnya dalam program keahlian audio video.
Ketiga, SMK akan menciptakan arsitek-arsitek yang andal dan kreatif serta mampu menjadi arsitek yang mengetahui penciptaan dan penanganan gambar bangunan. Keempat, SMK juga dapat meningkatkan keimanan dan ketakwaan peserta didik dan menjadi warga negara yang baik, serta dapat menerapkan hidup sehat, memiliki wawasan pengetahuan dan seni.
Penyaluran Lulusan SMK
Untuk menyalurkan lulusan SMK, khususnya SMK Negeri membentuk lembaga Bursa Kerja Khusus (BKK). Tugasnya adalah menjalin kerja sama dengan perusahaan tingkat daerah, nasional, dan internasional. Rata-rata lulusan yang dapat disalurkan sebesar 90%. Hal ini berkaitan dengan kualitas lulusan yang bekerja di perusahaan tidak mengecewakan. Oleh karena itu, beberapa perusahaan melakukan tes agar dapat disalurkan di perusahaan-perusahaan yang membutuhkan.
Bagi para alumnus SMK yang ingin menjadi tenaga yang andal, maka anda harus memiliki prinsip kemandirian. Dengan demikian, sikap ketergantungan kepada orang lain sebaiknya dihindari. Hal ini akan menghambat kesuksesan dan keberhasilan anda. Oleh karena itu, siapkan diri anda bahwa anda ingin berubah.(*)
Rasio Sastra, Mengenang Pramoedya Ananta Toer
Oleh M. Arpan Rachman
Penulis adalah Pelaku Seni
“Memiliki seorang pengarang besar bagi rezim yang berkuasa, sama halnya dengan mempunyai sebuah pemerintahan yang lain,” kata Alexander Solzhenitzyn, sastrawan Rusia yang juga pernah dibuang penguasa.
“Setiap manusia yang hidup akan menemui kematian…”
Pramoedya Ananta Toer adalah sastrawan yang menjelma bagai sebuah ikon tentang kebebasan yang dibungkam. Sebagai pengarang, dia mendapatkan nama besar dari penjara ke penjara, menjadi orang hukuman. Mula-mula dijebloskan pada aksi militer I Belanda, kemudian ditahan dan dibuang oleh rezim yang pernah berkuasa di Indonesia.
Di penjara lahir sebagian besar cerita-ceritanya yang terbaik. Cerita-cerita itu antara lain telah diterjemahkan ke berbagai bahasa di dunia. Banyak silang-sengketa masih meliputi sosok Pramoedya Ananta Toer sebagai pribadi. Apa sebenarnya alasan rezim penguasa sampai membuangnya ke dalam kamp konsentrasi di Pulau Buru?
“Memiliki seorang pengarang besar bagi rezim yang berkuasa, sama halnya dengan mempunyai sebuah pemerintahan yang lain,” kata Alexander Solzhenitzyn, sastrawan Rusia yang juga pernah dibuang penguasa. Mungkin saja terpenjaranya Pramoedya dan Solzhenitzyn dapat dihubungkan: karena sama-sama mempunyai nama besar sebagai “pemerintahan yang lain” yang mengeluarkan komunike melalui karya-karya sastra. Dan pertanyaan tersebut dianggap terjawab.
Membaca kumpulan cerita pendek Pramoedya Ananta Toer berjudul Percikan Revolusi Subuh ternyata dapat juga menerbitkan rasa haru yang mendalam. Cerpen-cerpen yang dalam kata pengantar HB Yassin, “…terkarang semasa pengarang(nya) berada dalam tahanan semenjak aksi militer-I tanggal 21 Juli 1947 sampai tahun 1949.”
Memadukan dua judul kumpulan berbeda yang pertama kali terbit di tahun 1951. Berisi dua belas judul cerpen yang ditulis dalam langgam ekspresif: karya pengarang kawakan yang pada suatu zaman buah pikirannya pernah diberangus dan dilarang karena dianggap subversif dan melawan kekuasaan.
Beberapa di antara cerpen-cerpen itu sarat dengan muatan aspek religiusitas (keagamaan) yang seperti mengesahkan diktum: pada awal mula, segala sastra adalah religius (YB Mangunwijaya, 1992). Muncul firasat Pramoedya akan akhirat, misalnya …Sekiranya kulit bumi ini merendah dan kemudian air samudera menggenang dahsyat–manusia akan seperti semut disiram air panas…(halaman 28: cerpen berjudul Gado-gado) yang menyiratkan nuansa tentang hari kiamat.
…Peluru musuh yang seperti kunang-kunang beterbangan, tak sebuah pun yang mengenainya. Tuhan masih melindungi…(60: Ke Mana) yang mengandung pengertian bahwa sang tokoh adalah orang yang mempercayai adanya kekuatan Yang Maha Kuasa.
atau, …Dengan tiba-tiba saja mereka yakin akan adanya Tuhan… (69: Kemelut). Tokoh Abdul dan Maliki adalah dua nama Islami (75: Masa). Percakapan antara Karel dan Willem: dua orang Nasrani (81-97: Orang Baru).
…Dan barulah aku mengerti: ia bersembahyang…(104: Kawanku Se-Sel).
…Tapi yang aneh: doa dan harapanku supaya tak lagi bertemu dengannya terkabul. Aku telah berdosa padanya… (167: Jalan Kurantil 28).
…Dan Tuhan yang satu dan tak terpecah-belahkan itu dipinta untuk memenangkan dua pihak yang bunuh-membunuh: puncak kebebalan manusia! (180: Dendam).
Cerpen-cerpen itu bercerita banyak tentang religiusitas sebagai bagian gagasan yang hendak disampaikan pengarangnya. Terlepas dari masih adanya silang-sengketa sementara kalangan terhadap Pramoedya Ananta Toer yang dulu pernah dihujat karena ditengarai mengekang kebebasan sesama sastrawan. Sekarang di jalan-Nya yang lapang, tentu Pram dengan sendirinya termaafkan.
Rasio yang dapat dijadikan sebagai kacamata mikroskopis tentang sastra yang merupakan wujud emblematik kebudayaan literer yang hidup di dalam masyarakat sekaligus sebagai locus genus bermuara pada khasanah budaya Melayu karena dari kebudayaan tersebut bangsa Indonesia memiliki bahasa ibu, yakni dengan menerapkan karya sastra menjadi logos keilmupengetahuanan bagi generasi muda sejak usia dini sebab dengan cara itulah sastra benar-benar bisa menjadi hak-milik intelektual yang dapat diteoretisasikan dan dipraktikkan serta dipelajari dan diabadikan.
Bangsa yang besar ini tentu tidak ingin mengulangi sejarah buruk berbagai khasanah budaya sastra tutur yang diliterasikan secara oral pada zaman dahulu kala, tetapi jangankan gagasan menjadikannya sebagai salah satu materi pembelajaran untuk umum, bahkan upaya-upaya pendokumentasiannya pun seringkali tidak kunjung dilakukan secara teliti dan memadai, sehingga banyak karya dari khasanah budaya tersebut akhirnya hilang ditelan zaman.
Bila pandangan negatif seperti yang dikatakan Solzhenitzyn terus dibiarkan, secara ironis karya kesusastraan termasuk cerpen-cerpen pramoedya Ananta Toer akan tinggal sebagai artefak budaya akulturasi belaka: karya-karya kesusastraan yang dilestarikan oleh orang asing di dalam museum dan ruang pembicaraan publik di negeri mereka saja.
Tetapi sejarah perunutan kelestarian sebuah karya, terutama karya-karya kesusastraan, tidak mungkin dapat menampik asal-usulnya sendiri sebagai bagian dari “sesuatu yang hilang”. Soalnya mungkin saja sastra Latin adalah hasil proses akulturatif juga: sebuah locus genus yang berawal entah dari mana kemudian terbawa angin hingga ke jalan menuju Roma, yang dapat dijejaki pembentukannya sejauh sejak huruf hiroglif pertama ditemukan.
Lalu jejak rasio sastra merentang jalinan the-missing-link panjang sampai kepada khasanah Melayu, yang tidak lebih dari pengembangan salah satu cabang sinologi dengan unsur kental hinduisme karena menurut sejarah (lagi-lagi!) nenek-moyang kita berasal dari India Belakang atau Yunan --salah satu provinsi miskin di Cina sekarang–yang kemudian berinteraksi dengan kaum pedagang Gujarat (karena itulah maka kita dikenalkan oleh kaum orientalis sebagai Hindia). Atau estimatika lain: kita dan dan sastra kita sebenarnya merupakan bagian pemberontakan terstruktur yang bercampur-baur dalam proses kebanalan, sehingga menjadi genre berciri khas timur yang eksotis dan penuh dengan misteri.
Sastra dalam masyarakatnya, memang harus hidup tanpa menengahi atau menyingkirkan bidang-bidang kehidupan lainnya, terkecuali politik dan kekuasaan yang berlangsung serba-salah atau berat-sebelah sebab kesusastraan ada (hadir) bukan untuk mengada-ada, melainkan hanya sekadar penanda ingatan kolektif zaman sebelum masyarakat di tempat mana sastra itu tumbuh, terjerumus ke dalam situasi dead man society atau mati suri teladan (Fajrullah, 2004).Karya-karya para empu di zaman kejayaan kerajaan-kerajaan di nusantara klasik misalnya, barangkali tidak lebih bernilai susastra daripada karya-karya anonim yang memasyarakat di luar tembok istana. Bukankah belum tentu kitab Kalatida lebih baik secara sastrawi dibandingkan dengan kitab-kitab pasaran tanpa nama terbuat dari daun lontar tua yang dibaca luas rakyat kebanyakan? Atau syair Abdul Muluk karya Raja Ali Haji mungkin tidak lebih cemerlang nilai sastranya ketimbang Zubaidah Sitti dari empu Al Lintani, misalnya? Seperti banyak juga dikenali ahli sastra yang tidak berambisi menjadikan dirinya termasyhur sebagai sastrawan. Seperti halnya banyak dijumpai ilmu tafsir terhadap naskah-naskah kesusastraan yang kemudian akhirnya mengetengahkan karya sastra ditafsirkan bukan sebagai berhala.(*)
JEBAKAN AKADEMIK
Oleh Darwin Syarkowi
Praktisi Radio Smart FM Palembang
Runtuhnya Peguruan Shaolin Kung Fu, bermula dari keengganan seorang guru (Master Shaolin) menularkan ilmunya secara utuh kepada para muridnya. Ibaratnya, dari 72 jurus Kung Fu Shaolin, ada satu jurus yang tidak diajarkan kepada muridnya. Bukan karena tidak ada waktu untuk melatihnya, tetapi bermula dari keengganan Sang Guru Shaolin mengajarkannya secara lengkap dan utuh. Bagaimanapun, seorang Master Shaolin tidak ingin ada murid yang bisa melebihi kehebatan ilmunya. Akibatnya, para murid perguruan yang bermula dari Pegunungan Shongsan, Provinsi Henan, Cina ini tetap berada dibawah Sang Guru.
Dari generasi ke generasi, keutuhan jurus di Perguruan Kung Fu Shaolin kian berkurang. Dalam setiap generasi mengurangi satu jurus. Hingga akhirnya, Perguruan yang didirikan Batuo, seorang pendeta India sekitar tahun 495 M ini, kini tinggal sebuah legenda, meskipun ada beberapa negara yang tetap mengembangkannya. Tetapi semua itu jauh dari keaslian dari 72 jurus Kung Fu Shaolin yang sebenarnya, ketika perguruan ini didirikan di pegunungan Siaw Lim (gunung kecil), Cina.
Kontekstualisasi antara dunia Shaolin dan dunia pendidikan kita, saya pikir tidak jauh berbeda keadaannya. Dari sebagian tenaga didik (guru dan dosen) di sekolah atau dosen di kampus perguruan tinggi, ada saja mentalitas tenaga didik yang tidak ingin mempunyai anak didik yang ilmunya melebihi dirinya. Atau minimal, sebagian tenaga didik di negeri ini tidak ingin ada salah satu anak didiknya yang agak ‘aneh’ di dalam kelas dan ruang kuliah, apalagi diberi peluang untuk protes, menyanggah pendapat sang guru dan sang dosen.
Bagi sebagian anak didik yang mencoba ‘berani’ memberi argumentasi dalam sebuah diskusi di dalam maupun di luar kelas, anak didik tidak jarang harus berhadapan dengan ancaman nilai akademik, sebagai akibat ‘melawan tenaga didik’ tadi. Protes dan mengritik, di negeri ini masih terus dianggap tabu, atau bahkan dianggap satu kejahatan yang seolah tidak akan mendapat pengampunan, kecuali harus dikeluarkan dari lingkungan lembaga pendidikan alias di-drop out (DO).
Secara historis, perilaku dan sikap ‘anti kritik’ yang hingga kini masih tertanam pada sebagian tenaga didik, tidak lain sebagai akibat dari hegemoni ideologi Orde Baru (Orba) yang selama 30 tahun lebih telah berhasil membungkam mulut, hati dan sikap kritis dari 150 juta rakyat Indonesia, meskipun ini bukan faktor satu-satunya. Tetapi apapun alasannya, proses pembungkaman dan pengebirian daya kritis yang dilakukan Orba di era Soeharto (1968-1998), telah mencerabut keberanian berbeda pandangan antara satu sama lain. Akibatnya, murid di sekolah, mahasiswa di kampus juga dipaksa harus berpikir sama dengan dosen, minimal jangan sampai ilmu anak didik melebihi yang mendidik, apalagi harus melakukan protes.
Protes dengan mengeluarkan segala argumentasi akademik di depan guru dan dosen, sampai hari ini seakan menjadi gumpalan dosa. Anak didik, baik siswa dan mahasiswa secara intelektual, kesannya harus tetap berada di bawah dosen dan guru. Sama halnya nasib para murid Shaolin yang tidak boleh lebih hebat ilmunya dari Sang Pendekar.
Mentalitas seperti itu kemudian menggurita pada diri pada sebagian tenaga didik. Akibatnya, anak didik harus tunduk dan patuh pada guru, dosen atau ikut sistem yang berjalan, meskipun sistem yang diterapkan menawakan jebakan tehadap masa depan anak didik itu sendiri. Yang terjadi kemudian, jutaan anak didik di negeri ini usai menamatkan sekolah dan kuliahnya, bukan tumbuh kemandirian berpikirnya, melainkan yang berkembang adalah penumpulan kreatifitas. Kondisi ini sama persisnya ketika jutaan ratkat Indonesia di masa Orba harus mikul nduwur mendem njero, (menyembunyikan keburukan atasan di dalam hati, demi kebaikan fisik yang palsu). Bahasa lainnya adalah, lain di mulut lain di hati, yang penting Asal Bapak Senang (ABS).
Sikap berbeda pandangan anak didik terhadap tenaga didik, sebaiknya dari sekarang sudah dibudayakan di setiap lembaga pendidikan. Tujuanya bukan untuk saling salah dan menyalahkan, tetapi dengan perdebatan ini, akan menumbuhkembangkan wawasan keduanya, sekaligus akan melahirkan kajian baru tentang tema yang tengah diperdebatkan itu. Bukan malah sebaliknya, tenaga didik kemudian mengancam yang bersangkutan dengan nilai buruk atau dikeluarkan dari lembaga pendidikan.
Inilah bedanya antara pola dan sistem pendidikan kita dengan negara berkembang, sebut saja Jerman. Meski hanya dua minggu, tetapi saya di negeri itu banyak mendapat pelajaran, betapa sistem pendidikan di negeri ini sama sekali menerapkan pola yang tidak mendorong kreatifitas dan kemandirian anak didik. Di Jerman, perdebatan antara guru dan murid sudah menjadi hal biasa. Kritik, protes dan perang argumentasi menjadi sesuatu yang seolah diwajibkan harus terjadi. Sebab dengan cara itulah, murid dan guru bisa terdorong untuk sama-sama menggali, untuk kemudian di lain hari dipedebatkan kembali dengan tambahan literatur dan hasil penelitian.
Hal lain yang menjadi perbedaan prinsip adalah, di negeri ini nilai akademik seakan menjadi simbol sakral (angka suci) yang mesti dikejar dan diagungkan. Deretan nilai akademik diatas angka tujuh telah menjadi jaminan kecerdasan anak didik. Padahal, jajaran angka di raport, ijazah dan hasil kartu studi (KHS), hanya seujung kuku dari proses pejalanan akademik, bukan tujuan akademik itu sendiri. Tetapi di negeri ini, angka menjadi standar nilai kepintaran dan kecerdasan anak didik. Oleh karenanya, sampai saat ini anak didik, baik di sekolah maupun di kampus sering kali terjebak pada kubangan nilai akademik, bahkan kalau bisa cumlaude (prestasi sangat memuaskan di peguruan tinggi), meski harus kasak kusuk dengan dosen pembimbingnya. Yang meyedeihkan, dosen dan guru membuka diri bermain dalam jebakan akademik tadi.
Pertanyaannya sekarang, bila nilai akademik menjamin kecerdasan anak didik secara intelektual dan secara sosial, mengapa perguruan tinggi tetap menjadi mesin pembuat jutaan pengangguran intelektual? Atau berapa persen alumnus SMK yang sanggup berdikari di kaki sendiri dalam menghidupi keluarganya? Jauh dari target. Ini sebagai akibat, pemenuhan kualitas anak didik bukan pada bagaimana mereka didorong bisa mandiri, tetapi sebagian tenaga didik kita hanya menyampaikan teori akademik dari buku ke buku, tanpa mempertimbangkan bagaimana anak didik juga harus cerdas secara sosial di tengah kompetisi global.
Bila kemudian Mendiknas Bambang Sudibyo menggagas terhadap pentingnya peningkatan persentase SMK 70% dan SMA 30%, untuk mengurangi jumlah pengangguran di Indonesia, bagi saya ini hanya akan menjadi utopia (hayalan) belaka, selama pola pikir, mindset (cara pandang) setiap tenaga didik di sekolah dan di kampus tidak dimulai dengan pijakan bagaimana pesan pendidikan itu seharusnya bukan sebatas meng-agungkan nilai akademik, tetapi juga mendorong kreatifitas anak didik. Tujuannya, di kemudian hari cara berpikir anak didik bukan terjebak bagaimana setelah selesai pendidikan menjadi karyawan perusahaan dan menjadi pegawai negeri sipil semata, tetapi jauh lebih penting dari itu adalah, bagaimana membangkitkan sikap enterpreunership (kewirausahaan) pada diri setiap murid.
Kesiapan berbeda pandangan antara anak didik dan tenaga didik menjadi awal mula untuk membangkitkan kreatifitas dan kemandirian itu. Sebab, dengan membiarkan guru dan dosen sebagai sumber “kebenaran mutlak” sementara anak didik hanya menjadi pendengar setia tanpa boleh mendebatnya, maka proses pencerdasan sosial bagi anak didik hanya akan menjadi hayalan belaka. Selama pola ini tidak dirubah, sudah barang tentu, gagasan Mendiknas itu juga hanya akan menjadi legenda, sebagaimana gagasan Mendiknas era Soeharto, Wardiman Djoyonegoro tentang sistem link and mach, yang hanya berjalan seumur jagung.(*)
PUISI SISWA
PUISI PUTRI PRATIWI
SMA PTBA TANJUNG ENIM
AKU
Aku adalah lumpur hitam
Yang mendebu
Menempel di sandal dan sepatu
Hinggap di atas aspal
Terguyur hujan
Terpelanting
Masuk comberan
Siapa sudi memandang
Atau mengulurkan tangan?
Tanpa uluran tangan Tuhan
Aku adalah lumpur hitam yang malang
Tanjung Enim.000000
CINTA
Seandainya kamu tahu
Yang selalu kupikirkan hanyalah
Dirimu, ku selalu teringat dengan dirimu
Ku hanya bisa memikirkan dirimu
Dalam hatiku
Ku ingin mencintaimu dengan sederhana
Seperti yang tak sempat diucapkan kayu
Kepada api yang menjadikan abu
Seperti kata yang tak sempat
Diucap awan keada hujan yang
Menjadikan tiada
Tanjung Enim.000000
TUHAN
Kulafazdkan namaMu di setiap
perkataanku
Kutancapkan namaMu di detak
jantungku
Kutakkan bisa untuk melupakan-Mu
Walau sesaat
Tanpa Engkau aku takkan bisa
Berbuat apa-apa
Karena Engkau aku bisa hidup dan
Karena Engkau juga aku bisa tiada
Tanjung Enim, 000000
PERJUANGAN
Ada saatnya kita berjuang mengejar
Impian, ada kalanya juga kita mesti
Menerima jalannya takdir
Kapal teah berlayar dan
Terlalu bodoh untuk mengejarnya
Kadang sesekali dalam hidup kita
Mesti jadi orang bodoh
Setidaknya kita bisa belajar
dari kesalahan
Tanjung Enim, 000000
KASIH
Tulusku ucapkan kata
Cinta seindah mutiara
Berkilau bagai embun surga
Harum semerbak kasturi
Tebarkan wangi
Kaulah kekasih kekal abadi
Sirami jiwa yang hampa ini
Tanjung Enim, 000000
MEMBELI CANGKUL UNTUK SAWAH KERING
Laporan Yusron Masduki & Imron supriyadi
Irian Nasri, Pimp.Utama AMIK Bina Sriwijaya Palembang
Modernisasi teknologi informasi yang ditingkahi oleh industrialisasi di satu pihak mnjadi bagian fenomena kemajuan zaman. Tetapi di pihak lain, kondisi ini makin mempertajam persaingan hidup, bukan pada kompetisi dalam dunia kerja semata tetapi juga dalam mencari kebutuhan hidup itu sendiri. Tidak ada jalan lain, dalam menghadapi perkembangan dunia teknologi dan persaingan di bursa kerja diperlukan keterampilan khusus yang kelak akan diserap oleh instansi negeri dan swasta. Demikian secuil kutipan dari obrolan kecil dengan Direktur AMIK Bina Sriwjaya Palembang, Irian Nasri, MS.,SE di ruang kerjanya pekan lalu.
Pernyataan Rian, panggilan akrab orang nomor satu di AMIK Bina Sriwjaya Palembang terkait erat dengan gagasan Menteri Pendidikan Nasional, (Mendiknas) Kabinet Indonesia Bersatu, Bambang Sudibyo tentang pentingnya peningkatan jumlah persentase SMK 70% dan SMA 30%. Rian menilai, ada perbedaan sangat tampak antara SMK dan SMA. Bagi SMA memang dipersiapkan untuk melanjutkan kuliah. Sementara di SMK dipersiapkan untuk bekerja. “Kalau tamat SMA kemudian tidak melanjutkan kuliah, mereka akan sulit masuk di dunia kerja. Sebab, di bangku SMA memang tidak seperti di SMK, yang lebih banyak membekali siswanya dengan keahlian (skill) tertentu. Sementara di SMA memang dipersiapkan untuk melanjutkan kuliah,” tukas Rian lagi.
Dengan kenyataan inilah, menurut Rian, melalui program yang digagas Mendiknas ini minimal dapat memberi dorongan kepada siswa sekolah untuk membekali diri dengan keterampilan, baik alumnus SMA atau SMK itu sendiri. “Sekarang sudah banyak lembaga diploma atau lembaga pendidikan kursus yang bisa membantu dalam penguasaan skill. Bina Sriwijaya salah satunya di Palembang. Ini sengaja dibuka untuk mengiringi persaingan global tadi, sehingga gagasan Mendiknas dan upaya mengurangi jumlah pengangguran ini bisa terwujud seiring dan sejalan,” tegasnya.
Senada dengan itu, Drs.H.A.Fathoni Husin Umrie, Kepala Seksi Kursus dan Kelembagaan Pendidikan Luas Sekolah (PLS) Disdikpora Palembang menyatakan, pola SMK 70% dan SMA 30% harus didukung adanya perubahan dari muatan kurikulum. Artinya, menurut Fathoni karena ini menyangkut pemenuhan kebutuhan keterampilan siswa, khususnya di SMK, maka muatan kurikulum yang mengarah pada kompetensi keilmuan keterampilan siswa menjadi penting. Sejak awal, lanjut Fathoni siswa di SMK sudah diberi materi dan kurikulm yang lebih fokus pada keilmuan di masing-msing bidang. ”Sehingga disaat mereka keluar dari sekolah, mereka sudah siap bekerja, bahkan siap untuk membuka lapangan pekerjaan,” tegas Fathoni ketika dibincangi PRESTASI gemilang, pekan lalu.
Sutikno Jayanegara, Pimp.Cabang Master Komputer Palembang
Tuntutan alumnus setingkat SLTA yang tidak melanjutkan kuliah kian hari memang makin dihimpit oleh berbagai tantangan. Masalahnya kemudian adalah tinggal bagaimana membekali diri dengan segudang keterampilan guna menyongsong persaingan di dunia kerja. Menghadapi kondisi yang dinilai banyak pihak sebagai era yang sempit lapangan kerja, setiap alumnus SMA dan SMK atau siapapun juga memerlukan alat sebagai sarana menghalau bermacam tantangan global.
Pimpinan Cabang Lembaga Pendidikan Profesional Master Komputer Palembang, Sutikno Jayanegara, A.Md menilai tugas dari sekian banyak lembaga kursus profesional setingkat diploma adalah memberi tambahan keterampilan. Masalah apakah mereka kemudian mendapat lapangan pekerjaan atau tidak, bukan wewenang lembaga itu sendiri. “Tetapi kami dan kawan-kawan lain yang mengelola lembaga pendidikan diploma, melakukan upaya untuk mengarahkan mereka untuk bisa mendapat lapangan pekerjaan. Diantaranya dengan memagangkan mereka di instansi, ada lagi onthe job trining dan lain sebagainya. Ini dilakukan supaya mereka bisa berkompetisi ketika menyelesaikan pendidikan,” ujar ayah dari satu anak ini kepada PRESTASI gemilang di ruang kerjanya pekan lalu.
Desakan kebutuhan ekonomi yang di dera oleh makin sempitnya lapangan pekerjaan, meminjam istilah motivator Indonesia Andre Wongso, menjadi situasi yang menuntut setiap orang harus bersedia berlaku keras terhadap diri sendiri. Berlaku keras yang dimaksud adalah memacu diri untuk terus mencoba dan mencoba, sehingga keberhasilan akan makin dekat dengan siapa saja. Seiring dengan itu, menurut Sutikno setiap lembaga pendidikan profesional setingkat diploma yang menitikberatkan pada penguasaan keterampilan tertentu, bukan saja dituntut membekali mahasiswa dengan berbagai skill, tetapi jauh lebih penting dari itu juga mendorong mereka untuk siap membuka lapangan pekerjaan. “Pola pengajaran di setiap lembaga non fomal seperti kami ini, juga dihadapkan tantangan bagaimana para alumnusnya bukan sebatas menciptakan sumber daya manusia yang siap kerja, tetapi mereka juga kami dorong untuk siap membuka lapangan kerja,” tukasnya.
Tuntutan penguasaan keterampilan dan keahlian tetentu menjadi keharusan di tengah ketatnya persaingan bursa kerja di Indonesia. Tetapi menjadi poblematis disaat lembaga non formal seperti lembaga-lembaga kursus membekali keterampilan, sementara peluang kerja kian hari kian sempit. Sama halnya mencari cangkul untuk sawah kering. Yang perlu dipikirkan adalah, bagaimana mengolah sawah kering menjadi lahan produktif, tanpa harus menunggu turunnya hujan, sehingga kepemilikan cangkul tetap dapat berdaya guna untuk membangun bangsa yang mandiri.(*)
“SMK, JANGAN HANYA BERUBAH BUNGKUS”
WAWANCARA DENGAN REKTOR UMP
H.M. IDRIS, SE.,Ms.i
Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Kabinet Bersatu, Prof.Dr.Bambang Sudibyo menggulirkan program terhadap pentingnya penguasaan skill bagi almunus setingkat SLTA. Gagasan itu tertuang pada pentingnya penambahan jumlah Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) menjadi 70% dan Sekolah Menengah Umum (SMU) menjadi 30%. Target dari program ini untuk mengurangi jumlah pengangguran, terutama para alumnus setingkat SLTA. Lantas bagaimana tanggapan Rektor Universitas Muhammadiyah Palembang (UMP), H.M.Idris, SE.,M.Si terhadap gagasan ini? Berikut wawancara Yusron Masduki dan Imron Supriyadi, dari PReSTASI gemilang. Petikannya.
Mendiknas menyatakan tentang perlunya penambahan jumlah persentase SMK 70% dan SMU 30%. Komentar anda?
Sebelum muncul ide itu, dulu kita kenal dengan beberapa sekolah yang sudah mengarah pada spesialisasi keilmuan. Ada Sekolah Pendidikan Guru (SPG), Sekolah Guru Oleh Raga (SGO), ada Sekolah Menengah Ekonomi Atas (SMEA), Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) dan lain sebagainya. Tetapi ketika para alumnus sekolah-sekolah itu kemudian tidak bisa tertampung dalam dunia kerja, maka yang terjadi kemudian jumlah pengangguran semakin banyak. Nah, pemerintah sepertinya tidak ingin jumlah pengangguran ini terus bertambah, sehingga beberapa sekolah kejuruan dikurangi, bahkan kemudian ditutup. Yang ada hanya SMA menjadi SMU yang sifatnya umum, dengan harapan setelah SMA mereka melanjutkan ke perguruan tinggi dalam meningkatkan skill supaya mampu bersaing dalam dunia kerja.
Tentang gagasan Mendiknas tadi bagaimana?
Ya, saya sepakat dengan gagasan itu. Tetapi yang perlu dibenahi adalah, bagaimana materi atau kurikulum di dalam SMK itu yang mesti dititikberatkan pada penguasaan skill di bidangnya masing-masing.
Maksudnya?
Begini, kalau memang Mendiknas sudah menggulirkan program ini, yang perlu diperhatikan bagaimana muatan pelajaran di SMK itu sudah mengarah pada penciptaan siswa yang kreatif dan kemandirian setelah mereka selesai. Maksud saya, di SMK itu mata pelajarannya tidak harus seperti di SMU atau SMA. Misalnya, kalau di SMK khusus bidang elektronik, listrik ya cukup diberi materi dan pelajaran tentang bagaimana bisa menguasai bidang elektronik dan listrik. Tidak perlu ada pelajaran kimia, biologi dan beberapa pelajaran yang tidak ada hubungannya dengan jurusan mereka. Jurusan mesin juga begitu, pelajarannya fokus saja tentang pengetahuan mesin, otomotif juga begitu, berikan materi kepada siswa SMK yang memang dapat memberi bekal keilmuan yang lebih spesifik pada jurusannya masing-masing. Sehingga, ketika mereka keluar dari SMK akan benar-benar menguasai sekaligus dapat menerapkan ilmu yang mereka dapatkan dari sekolah. Makanya, menurut saya yang terpenting dalam hal ini adalah bagaimana mengembalikan porsi SMK pada spesialisasi keilmuan atau pelajaran yang langsung menjurus pada masing-masing kahlian yang diminati siswa tadi.
Dengan gagasan ini, menurut anda apakah ada jaminan akan dapat mengurangi jumlah pengangguran?
Selama gagasan Mendiknas ini tidak diikuti dengan pembenahan materi, maksud saya tidak diikuti dengan mengembalikan porsi SMK dengan materi dan kurikulum yang menjurus pada spesialisasi keilmuan bagi siswa, saya tidak bisa menjamin jumlah pengangguran itu berkurang. Tetapi kalau kemudian gagasan ini diimbangi dengan perubahan kurikulum di SMK dan menitikberatkan pada bidang keilmuan di semua jurusan, saya yakin dengan gagasan ini jumlah pengangguran ke depan bisa berkurang. Jadi, kalau memang gagasan Mendiknas ini akan dimaksimalkan untuk mengurangi jumlah pengangguran, ya SMK harus ada perubahan kurikulum, jangan hanya berubah bungkusnya saja, tetapi isinya tidak dibenahi, itu tidak ada artinya.
Setelah selesai, sebagian alumnus SMK tidak cukup punya modal untuk membuka usaha. Padahal diantara sebagian mereka tidak sedikit yang siap membuka bengkel atau usaha, tetapi karena keterbatasan modal mereka masih menganggur. Bagaimana solusinya?
Ya. Ini juga sangat dilematis. Di satu sisi mereka memiliki skill. Tetapi di sisi lain mereka tidak punya modal. Ini memang realitas yang mesti dihadapi oleh banyak pihak. Bukan saja alumnus SMK itu sendiri, tetapi juga bagi pemerintah. Tetapi sekarang kan sudah banyak bantuan dari beberapa perusahaan, instansi terkait yang dapat memberi pinjaman dana bergulir. Nah, ini bisa dimaksimalkan.
Menurut anda bentuknya hibah atau pinjaman?
Bukan. Bukan hibah. Tetapi yang namanya dana bergulir itu sifatnya pinjaman. Dengan cara ini si peminjam ada tanggungjaab untuk mengembalikan. Dan satu hal yang perlu diberitahu pada si peminjam adalah, bagaimana si peiminjam diberitahu kalau tidak mengembalikan akan dapat merugikan orang lain, karena setelah ini masih ada lagi yang menunggu pinjaman. Dengan cara ini, setiap alumunus SMK yang diberi dana bergulir punya beban tanggung jawab untuk mengembalikan, karena kalau tidak mengembalikan sama halnya merugikan temannya sendiri.
Untuk memenuhi persaingan pasar, apa yang mesti dilakukan bagi para pengelola SMK?
Tentu perubahan kurikulum yang saya sebut tadi. Selanjutnya, menyiapkan semua perangkat, alat praktik yang memadai. Ini terkait erat dengan tujuan materi di SMK itu sendiri, yaitu mendidik siswa agar mereka memiliki keahlian tertentu. Dan ini tidak bisa sekedar teori tetapi harus praktik langsung. Untuk melakukan praktik kerja ini jelas, di SMK wajib memiliki ruang khusus, paralatan dan ruang praktik yang dapat mendorong penguasaan siswa terhadap bidang di masing-masing jurusan. Dan semua perangkat itu biayanya tidak murah.(*)
BERMIMPI MENJADI CHINA KEDUA
Peningkatan jumlah SMK menjadi 70% dan SMA 30 % ditargetkan terwujud
di tahun 2014. Direktur Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Departemen Pendidikan Nasional, Joko Sutrisno merasa optimis bila SMK berkembang sesuai rencana, Indonesia akan bisa menjadi China kedua dalam hal industri.
Perlu peubahan sistem pendidikan?
***
Carilah Ilmu sampai negeri China. Demikian sebuah syair arab yang sering dijadikan sandaran sebagian orang. Meski tidak secara langsung berdasar pada syair itu, tetapi syair ini dapat selaras dengan cita-cita melambung terhadap target peningkatan jumlah SMK 70% dan SMA 30% yang menurut Joko, bila progam ini berjalan sesuai rencana, bangsa ini akan dapat menjadi China kedua.
Berkiblat ke China dalam hal industri memang bukan satu dosa bagi negeri Garuda Pancasila ini. Sebab, sebagaimana banyak dilansir media, faham komunis dan sistem politik tertutup yang dianut negara China dulu, bahkan dijuluki negara Tirai Bambu– mengakibatkan China sedikit dikucilkan dalam pergaulan internasional. Dari segi wilayah dan penduduk dan wilayah, China sangat tidak mungkin untuk dikucilkan, tapi kenyataan menunjukan hal demikian.
Hal ini disadari oleh Deng Xiaoping. Sejak Xiaoping memegang tampuk kekuasaan pada akhir 1970-an, PKC (Partai Komunis Cina) telah menegaskan legitimasinya dalam menghasilkan pertumbuhan ekonomi dan menggunakan kekuatan ekonominya sebagai pendogkrak untuk mendapatkan pengakuan yang lebih besar secara internasional.
China memfokuskan diri dalam perdagangan asing sebagai kendaraan utama untuk pertumbuhan ekonomi, untuk itu mereka mendirikan lebih dari 2000 zona ekonomi khusus Special Economic Zones (SEZ) di mana hukum investasi direnggangkan untuk menarik modal asing. Hasilnya adalah PDB yang berlipat empat sejak 1978. Pada 1999 dengan jumlah populasi penduduk hampir 1,25 miliar orang dan PDB hanya $3.800 per kapita. China menjadi ekonomi keenam terbesar di dunia dari segi nilai tukar dan ketiga terbesar di dunia setelah Uni Eropa dan Amerika Serikat dalam daya beli. Pendapatan tahunan rata-rata pekerja Cina adalah $1.300, atau 1.3000.000,- per keluarga. Angka ini bila harga dollar sebesar Rp. 10.000,-. Dengan demikian dapat diperkirakan, satu orang karyawan di China dalam satu bulannya mendapat penghasilan 108,3 juta rupiah lebih.
Dengan perkembangan ekonomi seperti itulah, China diyakini sebagai salah satu negara yang tercepat di dunia, sekitar 7-8% per tahun menurut statistik pemerintah China. Kekuatan ekonomi ditunjukkan dengan proses industrialisasi yang mapan dan hasil produksi yang besar juga. Di beberapa industri, terutama industri padat karya, China menjadi pemain global yang dominan saat ini. Pabrik-pabrik China memproduksi 70% mainan, 60% sepeda, setengah industri memproduksi sepatu, dan sepertiga industri memproduksi tas di dunia. China juga memproduksi setengah oven microwave (alat memanggang) di dunia, sepertiga televisi dan perangkat AC, seperempat mesin cuci di dunia, dan seperlima lemari es-nya. Produk ini menunjukan pesatnya pertumbuhan ekspor China. Tetapi China tidak bisa mendapatkan hal-hal ini tanpa minyak. Untungnya China bisa mengimpor cukup banyak untuk menutupi kekurangannya itu. Namun, kebergantungannya pada komoditas asing hingga sebesar 40% dari seluruh kebutuhannya itu telah membuat China benar-benar terjebak dalam posisi sulit.
Dalam catatan lain disebutkan, dua puluh tahun lalu China menjadi negeri eksportir minyak terbesar di Asia Timur, yang sangat tergantung dengan negara lain. Tetapi saat ini, China telah menjadi importir minyak terbesar nomor dua di dunia. Pada 2004, China membukukan sekitar 31% dalam peningkatan permintaaan minyak dunia. Sehingga, naiknya harga minyak hingga diatas $60 per barel pada pertengahan 2005 bisa dibilang disebabkan oleh tingginya permintaan China.
Dengan liberalisasi perekonomiannya, lompatan besar China terbukti berhasil hanya dalam tempo sekitar tiga dasawarsa. Pertumbuhan ekonominya kini tercatat paling tinggi di dunia, ditambah surplus perdagangan yang luar biasa. Investasi asing mengalir deras. Dengan rakyat sekitar 1,3 miliar atau 20% dari penduduk dunia, ditambah ongkos tenaga kerja yang murah, China merupakan pasar yang sangat menggiurkan. China is the hottest business and investment story on the planet, demikian majalah Time dalam suatu artikelnya dua tahun lalu. Ungkapan tersebut kini semakin nyata. Peningkatan pertumbuhan ekonomi China pada akhirnya mempengaruhi tatanan ekonomi global. Menurut Biro Statistik China pada 19 April 2007, di triwulan pertama 2007 ekonomi China tumbuh 11,1 %, dengan cadangan devisa mencapai 1.2 trilliun dollar AS. Selain itu surplus perdagangan China pada bulan Mei 2007 mencapai 22,45 miliar dolar AS, atau naik 73 % dibanding tahun sebelumnya dan tertinggi kedua setelah surplus pada bulan Februari yang mencapai 23,7 miliar dolar AS.
SEZ di China
Terciptanya Special Economic Zone (SEZ) sebagai surga investasi baru memang tidak terlepas dari keberhasilan pemerintah China mengembangkan kawasan ekonomi khusus di beberapa provinsi. Strategi ini sesungguhnya sudah dilakukan di China yang sebelumnya belajar dari Singapura. Dalam paper China’s Special Economic Zones: Five Years After An introduction di Asian Journal of Public Administration terbitan 13 Sepetembr 2005, yang ditulis oleh Chung-Tong Wu, seorang pembantu professor di Department of Town and Country Planning, University of Sydney, disebutkan bahwa, konsep SEZ di China dibangun seperti membangun sarang burung Walet. Konstruksi fisik bangunan dirancang sedemikian rupa agar burung-burung itu lebih dulu dirangsang dengan bunyi-bunyian agar tertarik membuat sarang di dalam bangunan tersebut.
Bangunan-bangunan ini yang pertama kali muncul dan merebak di mana-mana. Ibarat membangun sarang untuk menarik burung, kota-kota di seluruh daratan China dirancang untuk menarik penanaman modal yang tidak hanya dicerminkan oleh berbagai kemudahan regulasi, prasarana dan sarana pembangunan bagi investasi dan lainnya, tetapi juga kesiapan berbagai kota di daratan China dalam memberikan kenyamanan maupun kemudahan orang-orang asing (khususnya) untuk menanamkan uangnya. Wu melaporkan, akibat kemajuan ekonomi yang tumbuh 9% berturut-turut dalam kurun waktu dua dekade, muncul juga kebutuhan di kalangan kelas menengah untuk menikmati arti kemajuan dan kesejahteraan ekonomi. Dengan demikian, tidak mengherankan jika ratusan pekerja terlihat sibuk di berbagai proyek bangunan dan prasarana umum di berbagai kota. China kemudian menjadi sebuah negara yang paling sibuk dalam pembangunan. Dan, pembangunan berbagai wilayah di seantero daratan China ditujukan untuk mengekspresikan kemajuan-kemajuan yang selama ini dicapai trickle down effect (TDE). Dalam konteks SEZ, landasan teori yang dianggap cukup tepat menggambarkannya adalah penjelasan atas tiga model pembangunan.
Model pembangunan yang tepat untuk mendeskripsikan SEZ adalah model yang berorientasi pada pertumbuhan (economic growth), dalam hal ini meningkatkan pertumbuhan investasi asing dengan melahirkan kawasan-kawasan ekonomi khusus. Model ini menjelaskan kenaikan pendapatan nasional dalam jangka waktu misal per tahun. Tingkat pertumbuhan ekonomi mempengaruhi penyerapan tenaga kerja. Oleh karena itu, proses pembangunan menjadi terpusat pada produksi, antara lain melalui, akumulasi modal, termasuk semua investasi baru dalam bentuk tanah, peralatan fisik dan SDM. Peningkatan tenaga kerja baik secara kuantitas maupun kualitas. Kemajuan teknologi yakni cara baru untuk menggantikan pekerjaan-pekerjaan yang bersifat tradisional. Dalam konsep economic growth, maka trickle down effect (TDE) menjadi sasaran utama karena menyebabkan rembesan kemakmuran ke bawah. Misalnya, investor yang diberikan kemudahan fasilitas pajak atau perizinan akan membangun kawasan-kawasan industri yang menyerap ribuan tenaga kerja. Setelah itu rembesan akan menghidupkan kawasan sekitar dengan hidupnya sektor-sektor ekonomi informal, seperti warung, tukang ojek, atau rumah kontrakan. TDE ini juga akan merembet terhadap munculnya sub-sub industri yang menyuplai langsung kebutuhan kawasan-kawasan industri. Penciptaan kawasan-kawasan pertumbuhan ini pada akhirnya melahirkan perputaran uang dalam volume yang besar.(diolah dari berbagai sumber)
Anggaran SMK naik jadi Rp 3,8 triliun
Direktur Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Depdiknas Joko Sutrisno, mengundang dunia industri untuk berkiprah dalam pengadaan peralatan praktik kerja seiring melambungnya anggaran SMK dari Rp 1,9 triliun menjadi Rp 3,8 triliun pada APBN 2009. "Naiknya anggaran itu memungkinkan SMK menambah peralatan praktik dalam jumlah yang sangat besar, oleh karena itu kami akan membeli peralatan praktik untuk anak-anak SMK dalam jumlah besar-besaran," ujarnya.
Dia menjelaskan dari Rp 3,8 triliun anggaran yang ada, Rp 2 triliun diantaranya akan dimanfaatkan untuk membeli alat-alat praktik mulai dari mesin hingga komputer dan notebook. Anggarannya diperkirakan bisa memenuhi kebutuhan peralatan praktik kerja bagi 5.000 SMK yang ada. Rinciannya dengan skala untuk SMK Rintisan Internasional mendapatkan dana Rp 600 juta, SMK berstandar nasional Rp 400 juta, SMK Rintisan Nasional Rp 300 juta dan SMK Standar Pelayanan Minimal (SPM) Rp 250 juta.
Untuk mendapatkan bantuan tersebut, Joko meminta agar SMK mengajukan proposal ke pemerintah pusat dengan persetujuan pemda setempat. Saat ini sudah puluhan proposal masuk ke Depdiknas untuk memperebutkan kue bantuan pemerintah. Hal terpenting dari industri yang akan bergabung dengan SMK dalam hal penyediaan alat-alat praktik adalah bersedia memberikan harga yang murah, namun kualitasnya bagus.
"Soal merek tidak penting, asal harga murah meriah dan andal. Bahkan kalau memungkinkan, peralatan praktik tersebut dirakit bersama-sama dengan siswa SMK. Model pengadaan peralatan praktik seperti ini mampu menghemat anggaran hingga 50%," jelasnya.
Orientasi pembinaan SMK saat ini, lanjut Joko, adalah menyiapkan menjadi entrepreneur dan tenaga kerja kelas menengah yang mandiri. Dengan demikian, selain bisa mengisi berbagai lowongan pekerjaan yang ada, lulusan SMK juga bisa menciptakan lapangan kerja dengan membuka industri rumahan. (bisnis.com)
Rincian dana APBN 2009, 3,8 Trilliun
1. SMK Rintisan Internasional (SRI) Rp 600 juta,
2. SMK Berstandar Nasional (BN) Rp 400 juta
3. SMK Rintisan Nasional (SRN) Rp 300 Juta
4. SMK Rintisan Nasional (SRN) Rp 300 Juta
5. SMK Pelayanan Minimal (SPM) Rp. 250 Juta
“SMA FOKUS PADA PROGRAM AKADEMIK”
Laporan : Sulis Jurnalis
Kian hari pengangguran kian memadati bumi pertiwi. Daalm setiap tahunnya, ribuan jebolan alumni perguruan tinggi mulai berpikir untuk mengais rejeki dengan memanfaatkan ilmunya. Namun masih saja berhamburan alumni S1 bahkan S2 sekalipun, tetap menjadi pengangguran (tunakarya) di negeri ini. Bila sarjana banyak yang menganggur, lalu bagaimana dengan alumni Sekolah Menengah Atas (SMA) dan SMK?.
Tebiarnya alumnus SMA dan SMK yang tidak punya pekerjaan, tetap saja akan menambahh barisan panjang deretan pengangguran intelektual di Sumatera Selatan. Belum lagi, beberapa perusahaan membutuhkan alumni yang siap kerja, mampu mengoperasikan peralatan kantor, peralatan produksi, teknologi, mesin, otomotif, dan mampu memerankan diri dalam pekerjaan di bidang lain yang telah tersedia di perusahaan. Semuanya menuntut calon tenaga kerja untuk memiliki life skills (keterampilan hidup).
Didasari itu, Mendiknas Prof Bambang Sudibyo, memunculnya kebijakan pendidikan menengah diarahkan pada meningkatnya proporsi SMK dibanding SMA. Kebijakan ini kemudian mengundang berbagai kontroversi. Secara tidak langsung kebijakan yang telah diungkapkan Bambang ini masih terlalu sulit untuk diwujudkan. Doni Koesoema, salah satu aktifis blogger pendidikan menyebutkan, sebuah keyakinan keliru bahwa Indonesia akan dapat bersaing di dunia global jika dapat mengubah SMA menjadi SMK. Mengubah proporsi SMA menjadi SMK hanya akan memosisikan daya-daya manusiawi Indonesia pada posisi paling bawah dalam dunia industri global. Sedangkan untuk mampu bersaing, yang dibutuhkan adalah akses setiap siswa pada pendidikan tinggi dan akademi teknik, politeknik yang murah dan terjangkau.
Hubungan antara keterampilan yang diperoleh melalui SMK, menurut Doni, terpenuhinya kebutuhan kerja yang diandaikan begitu saja merupakan sebuah kebijakan yang keluar dengan tidak mendasarkan diri pada kenyataan lapangan. “Terserapnya tenaga kerja itu tergantung pada ketersediaan kesempatan kerja. Dan yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah adalah menciptakan lapangan kerja, dan bukan mengubah SMA menjadi SMK,” Doni setengah protes.
Sementara, Untung Gutmir, MM, Kepala Sekolah MAN 2 Palembang menyebutkan, dirinya setuju dengan kebijakan tersebut, mengingat saat ini setiap sekolah menengah atas merupakan sebuah taraf belajar yang seharusnya telah dibekali keahlian tertentu. Gagasan Mendiknas ini, untuk mengantisipasi kondisi siswa setelah lulus SMA atau SMK, agar mereka tidak menganggur. Dengan adanya bekal keterampilan (life skill) diharapkan mereka akan mampu bekerja, maupun melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi bagi yang memiliki biaya. Namun bagi yang tidak mampu bisa memanfaatkan keahliannya yang didapat dari SMK atau SMA, untuk memenuhi kebutuhannya,” jelas Gutmir kepada Sulis dari PRESTASI gemilang pekan silam.
“Untuk mampu bersaing dengan sekolah lain, dan membekali siswa akan keterampilan maka MAN 2 Palembang memberikan pelatihan Paskibra dan meng-efektifkan pembelajaran mengenai Bahasa Arab dan Inggris. Kami melakukan ini untuk memberikan keterampilan bahasa bagi setiap siswa, agar kelak bisa dimanfaatkan,” lanjutnya. Sedangkan untuk menambah keterampilan berupa life skill terasa masih jauh dari perencanaan. Sesuai dengan data alumni yang telah diserahkan, 50% lebih alumni MAN 2 Palembang melanjutkan di perguruan tinggi, baik swasta maupun negeri yang ada di Indonesia. Sedangkan yang mencoba bekerja dan berhasil hanya mencapai 30% dan sisanya belum diketahui kejelasannya.
Sejalan dengan pendapat diatas Darmi Hartati, MM, Kepala Sekolah SMA Negeri 6 Palembang justru menganggap kebijakan tersebut tidak terlalu berpengaruh pada program yang dilaksanakan di sekolahnya (SMA). “Bagi kami, kebijakan tersebut sama sekali tidak berpengaruh, apalagi untuk memberikan keterampilan atau life skill. Itu kan bukan porsi SMA, sedangkan sekarang kami tetap akan mengefektifkan pembelajaran untuk akademi dan memberikan pembekalan imtaq yang kuat, mengingat alumni harus memiliki kemampuan intelektualitas tinggi dengan pengetahuan agama yang bagus sehingga bisa diterima di perguruan tinggi yang berkualitas. Jadi kami harus mempersiapkan itu,” tegasnya.
“Seorang yang bagus dalam kualitas imtaqnya tentu mereka berprestasi dan itu telah terbukti di SMA 6 ini. Namun mengenai keterampilan atau life skills itu kami masukkan pada mata pelajaran muatan lokal (mulok), yang berisi tentang keterampilan memasak khas palembang dan seni menyulam. Untuk keterampilan yang berbentuk life skill itu tidak ada si SMA ini, mengingat itu memang bukan porsi kami,” ujarnya.
Lain halnya dengan Winda, salah satu alumni tahun 2006 SMKN 6 Palembang lebih memilih untuk menyalurkan keterampilan yang telah didapatnya dari sekolah. “Sejak mulai sekolah di SMK 6, saya sudah memiliki rencana untuk mengembangkan usaha salon, kebetulan Ibu saya memiliki keterampilan tersebut. Akhirnya saya memilih jurusan keahlian tata kecantikan rambut. Setelah saya lulus, berbagai keterampilan mengenai pemotongan dan tatarias rambut akan saya terapkan dalam usaha saya nanti,” ungkap gadis berpostur tinggi ini.
Di tengah pro dan kontra kebijakan Mendiknas itu, ada juga sekolah setingkat SMA yang mencoba menggabungkan ketiga konsep tersebut. Seperti halnya MAN 3 Palembang, yang telah mencoba untuk memberikan pembekalan ilmu agama, ilmu umum dan keterampilan yang berupa elektro dan menjahit. “Untuk menjadikan Madrasah ini sebagai lembaga pendidikan yang terbaik dan unggul, sangat disadari bukanlah pekerjaan mudah, tetapi kita tidak memiliki pilihan lain, MAN 3 Palembang harus tampil berkualitas, mampu memenuhi tuntutan masyarakat yang dinamis dan mampu menyejajarkan diri dengan sekolah-sekolah lain yang telah lebih dahulu eksis menjadi pilihan utama masyarakat,” ujar Zainuri, Kepala Sekolah MAN 3 Palembang (*)
WAJAH KUSAM PENGANGGURAN DI SUMSEL
Potret pengangguran dan kemiskinan memang tak kunjung henti. Bukan saja di daerah, melainkan sudah menjadi persoalan nasional, yang berpuluh tahun umurnya. Kemiskinan dan pengangguran, merupakan dua kenyataan yang keduanya muncul hampir selalu bersamaan. Kemiskinan yang kemudian mengakibatkan pengangguran? Atau pengangguran yang menimbulkan kemiskinan? Agak sulit menjawabnya, sebab keduanya sering muncul seperti pantun bersahut. Di satu pihak, keluarga menjadi miskin karena anggota keluarganya menganggur, dan di pihak lain, orang menganggur akibat lahir dari keluarga miskin dan tak mempunyai kesempatan mengenyam pendidikan yang layak. Sama persisnya menjawab pertanyaan mana yang lebih dulu, ayam atau telur?
Dalam catatan Badan Pusat Statistik (BPS) Sumsel, sebagaimana dilansir beberapa media di Palembang, jumlah angkatan kerja di Sumsel per Februari 2009 lalu, mencapai 3.487.999 orang. Angka tersebut bertambah 15.987 orang dibandingkan jumlah terakhir pada Agustus 2008 yang mencapai 3.472.012 orang. Jika dibandingkan Februari tahun lalu (2008, red) telah terjadi penambahan angkatan kerja 33.688 orang dari angka 3.454.311 orang. Kabid Statistik Sosial BPS Sumsel, Dra Dyah Anugrah K mengatakan, perhitungan kondisi ketenagakerjaan di Sumsel mengikuti aturan ILO. Survei data dilakukan dua kali dalam setahun, yakni per Februari dan Agustus. “Yang jadi referensi adalah kondisi seminggu sebelum pencacahan,” jelasnya. Seseorang yang bekerja minimal 1 jam dalam seharinya selama 7 hari berturut-turut sudah bisa dikatakan bekerja.
Untuk jumlah penduduk Sumsel yang bekerja sendiri mencapai 3.195.765 orang. Atau bertambah 4.410 orang dibandingkan kondisi Agustus 2008. Jika dibandingkan jumlah per Februari tahun lalu sebanyak 3.162.257 orang artinya terjadi penambahan jumlah penduduk yang bekerja sebanyak 33.508 orang. Bagaimana dengan kondisi angka pengangguran di Sumsel?
Dyah menjelaskan, angka pengangguran Sumsel per Februari 2009 terjadi peningkatan cukup banyak, yakni sebesar 11.577 orang dari 280.657 orang, pada Agustus 2008 menjadi 292.234 orang pada Februari 2009. Dibandingkan Februari tahun lalu, hanya terjadi peningkatan 180 orang. “Kondisi ini memang tidak bertahan lama, karena masyarakat kita tidak seperti di Amerika Serikat di mana pengangguran dapat santunan dari negara. Makanya, tidak ada yang tahan untuk menganggur,” jelasnya.
Lebih lanjut, Dyah mengatakan, dengan jumlah pengangguran yang ada, tingkat pengangguran terbuka jika dihitung per Februari 2009 mencapai 8,38 persen atau mengalami peningkatan 0,3 persen dibanding kondisi Agustus 2008. Namun, jika dibandingkan Februari tahun lalu terjadi penurunan sekitar 0,07 persen. Dan selalu saja, tingkat pengangguran terbuka untuk kaum wanita lebih tinggi dari kaum pria. “Terhitung Februari 2009, tingkat pengangguran terbuka kaum wanita mencapai 9,44 persen, sedangkan kaum laki-laki hanya 7,74 persen,” tukas Dyah. Dari total pengangguran di Sumsel, sebagian masuk kelompok setengah pengangguran. Jumlahnya mencapai 1.128.446 orang atau sekitar 32,35 persen. Artinya, dari 100 angkatan kerja, sebanyak 32 orang hingga 33 orang mempunyai jam kerja kurang dari 35 jam per minggu. Situasi ketenagakerjaan Sumsel per Februari 2009 lalu, ditandai dengan meningkatnya jumlah pekerja secara absolut hampir di seluruh sektor, kecuali sektor pertanian dan konstruksi.
Persentase terbesar penduduk laki-laki di Sumsel yang bekerja per Februari berstatus berusaha dibantu buruh tidak tetap/buruh tidak dibayar yaitu 33,4 persen. Sementara, persentase terbesar dari penduduk wanita yang bekerja di Sumsel berstatus pekerja tidak dibayar mencapai 42,8 persen.(Sumatera Ekspres:18/05/2009-diolah)
SMK BISA! SUDAH BISA MAU APA?
Laporan : Romi maradona & Boni Soedarman
Genderang peningkatan jumlah Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) menjadi 70% yang ditargetkan sampai 2015 sudah ditabuh. Tujuan utamanya pengurangan jumlah pengangguran dan menambah tenaga terampil yang siap diserap dunia kerja. Gagasan ini, kemudian menjadi tantangan berat bagi Menteri Pendidikan, Prof Bambang Soedibyo, atau menteri selanjutnya untuk tetap konsisten meneruskan program ini. Jika kemudian gagasan Bambang, terhenti oleh pergantian menteri, maka ide ini nasibnya tak beda jauh dengan link and macth-nya Mediknas era Soeharto, Wardiman Djoyonegoro, yang kemudian hilang diganti dengan Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA), dan berlanjut ke Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) hingg akhirnya pada KTSP dan besok entah apalagi.
Merunut perjalanan sistem dan kurikulum pendidikan Indonesia serasa menyesakkan dada. Tetapi inilah adanya. Tinggal bagaimana setiap lembaga pendidikan menyikapi hal ini dengan kreatifitas, sehingga tidak terjebak dengan bermacam perubahan yang tidak pernah tuntas. Inilah sekelumit keprihatinan yang disampaikan Ketua Yayasan Pendidikan Islam Bende Seguguk (YPIBS) Kayuagung, Ogan Komering Ilir (OKI), Abdul Hamid Usman, S.H. M.Hum, kepada PRESTASI, gemilang pekan silam.
Mengiringi perjalanan pemerintahan baru, kini program peningkatan jumlah SMK 70% dan SMA 30% digulirkan. Pada satu kesempatan, Bambang Soedibyo menyatakan optimis akan mampu mengubah rasio jumlah SMK menjadi 70% dengan 30% Sekolah Menengah Umum (SMU). Misi Pemerintah ini ditargetkan selesai hingga 2013 untuk mengurangi pengangguran di Indonesia. "Optimis, target men-SMK-kan bisa tercapai sebelum 2013," kata Bambang usai berkunjung ke SMKN 6 Palembang, pekan silam.
Menurutnya, secara keseluruhan perkembangan SMK di Indonesia semakin baik. Terbukti saat ini, terdata hampir di seluruh wilayah jumlah SMK sudah mencapai rasio 50 persen atau seimbang dengan jumlah SMU, terutama di daerah Jawa. "Kenyataan inilah makanya kami optimis," kata Bambang. Mekanisme penambahan SMK di tiap daerah, menurut Bambang, kebijakan sepenuhnya diserahkan masing-masing otonomi daerah. Dirinya optimis bila sebelum tahun 2013 target tersebut tercapai. Terlebih, saat ini jumlah alumnus SMP yang masuk ke sekolah SMK meningkat hampir 70 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Selain itu, rata-rata angkatan kerja setelah lulus di SMK mampu terserap tenaganya secara penuh di satu perusahaan, karena mereka sudah terlatih diberikan program keahlian.
"Datanya hanya 17 persen saja pekerja yang menyandang status sarjana kurang mampu bekerja, sisanya banyak yang menganggur, itu tamatan SMA. Kalau keadaan ini dibiarkan terus maka mau dilimpahkan kemana penggugaran tamatan SMA," kata Bambang.
Lebih lanjut Mendiknas mengatakan, SMK merupakan satuan pendidikan yang perannya perlu ditingkatkan. Sementara semua satuan pendidikan, termasuk SMK, harus mengacu standar mutu nasional pendidikan, sehingga betul-betul ada jaminan mutu. Dalam rangka itu, di masa mendatang akan dilakukan akreditasi secara besar-besaran terhadap semua satuan pendidikan. Pemerintah akan menyediakan dana melalui APBN. Dari situ akan ada sertifikasi pendidikan. Sertifikasi itu sangat cocok bagi SMK.
Terkait dengan peningkatan mutu, kata Mendiknas, tiap kabupaten dan kota didorong untuk membuat sekolah bertaraf internasional, disamping sekolah unggulan yang berbasis ekonomi dan sosio cultural. Jadi, antara satu daerah dengan daerah lain yang memiliki sekolah unggulan yang berbasis lokal.
SMK Plus adalah Solusi
Dalam rangka pelaksanaan pilar pembangunan di bidang pendidikan nasional untuk meningkatkan akses dan pemerataan serta peningkatan mutu pendidikan SMK, Bambang menyebutkan, melalui APBN tahun 2009 telah dialokasikan dana bantuan untuk pembangunan ruang kelas baru (RKB) SMK, pembangunan workshop, laboratorium dan perpustakaan SMK, pengadaan peralatan SMK rintisan SSN, serta pengadaan peralatan SMK Pra-SSN. Salah satu tahapan dalam pemberian bantuan tersebut, berupa kegiatan penandatanganan surat perjanjian dan bimbingan teknis pemberian bantuan tahun anggaran 2009. Program tersebut, menurut Bambang, tentu akan menjadikan SMK Plus, yaitu tersedianya peralatan, worshop, laboratorium dan perpustakaan, plus jaringan internet gratis di setiap SMK di Indonesia. ”Kesungguhan pemerintah ini harus didukung, keberpihakan pemerintah melalui program SMK bisa bukan hanya untuk sekedar umbar janji pada masa kampanye lalu, tetapi akan menjadi program permanen yang terencana dan berkelanjutan,” tegasnya.
Baru 50% bisa bekerja
Sementara itu, Direktorat Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah (Mandikdasmen) Dediknas menargetkan, 70% lulusan SMK langsung kerja pada tahun kelulusan. Target itu diharapkan terealisasi pada 2010. Hal itu sesuai rencana strategis (renstra) 2010-2014, sekaligus menjawab kebutuhan sektor industri formal di Indonesia.
Direktur Pembinaan SMK, Joko Sutrisno, mengatakan, saat ini belum semua siswa kejuruan bisa langsung bekerja setelah lulus. Persentasenya masih 50%. Padahal, mereka memang diorientasikan untuk bekerja. Apalagi, di berbagai daerah saat ini banyak yang membutuhkan tenaga terampil. “Kita harapkan anak didik kita bisa mengisi kebutuhan itu,” terangnya.
Untuk memenuhi target itu, Joko mengakui sudah memiliki rencana strategis. Salah satunya terus menambah teaching factory di sekolah kejuruan. Saat ini sudah tersedia 1.250 teaching factory di SMK. Selain itu, ada 40 SMK yang memiliki pusat kewirusahaan bidang bisnis dan manajemen, serta 30 SMK dengan business center bidang pertanian maupun kelautan. Dengan berbagai fasilitas itu, siswa SMK dapat praktikum bekerja. “Praktiknya riil. Kalau jadi kasir, ya beneran. Demikian pula banyak siswa SMK yang belajar montir,” ujarnya.
Bukan hanya itu, pihaknya juga siap menambah praktikum siswa jurusan pariwisata. Saat ini sudah ada 100 SMK di Indonesia yang menerapkan praktikum hotel berbintang. Agar siswa SMK cepat terserap setelah lulus, pihaknya akan memperbanyak kerja sama dengan sektor industri. “Program job placement kita perluas,” cetusnya.
Untuk mengurangi tingkat pengangguran, Joko akan membuka industri mesin mobil berbasis SMK. Pendirian satu industri diperkirakan mampu menyerap 100 tenaga kerja SMK. Pendirian industri mesin mobil itu akan berimbas dibukanya 1.000 bengkel di SMK maupun di luar SMK. Tiap bengkel diperkirakan bisa memperkerjakan tiga orang.
Sekitar 15 persen dari kebutuhan tenaga kerja di perbengkelan itu diambil dari siswa SMK jurusan mesin otomotif. Termasuk, dibukanya industri sepeda motor. Bidang usaha otomotif dinilai Joko sangat punya masa depan yang baik. “Sebab, kemampuan anak didik kita ini tidak kalah dengan tenaga ahli lulusan yang lebih tinggi. Untuk bidang itu, tenaga kerja lulusan SMK yang dibutuhkan sekitar 10 ribu orang. Selain bidang kewirausahaan, semaksimal mungkin pihaknya menyalurkan lulusan SMK di sektor formal,” ungkapnya.
Beasiswa yang berprestasi
Menanggapi hal itu, Jum Herman,S.Ag, Kepala SMK di Muaraenim menilai rasio jumlah siswa yang tidak seimbang antara SMK dan SMA ini, memang perlu diseimbangkan. Terkait hal itu, menurut dia, pemerintah perlu melakukan peningkatan infrastruktur SMK untuk menyeimbangkan antara siswa SMA dan SMK. Hal ini berarti, infrastruktur yang baik akan menarik minat masyarakat untuk bersekolah di SMK.
Selain memperbaiki dan melengkapi infrastruktur SMK, pemerintah juga perlu menambah jumlah guru. Selain itu, untuk memacu siswa berprestasi lebih baik, pemerintah juga memprogramkan beasiswa kepada para siswa yang berprestasi dan mempunyai potensi untuk menjadi tenaga pendidik.
Direktur AMIK Rama Muaraenim ini mengatakan, saat ini banyak lulusan SMK yang berhasil, bahkan mendapatkan pekerjaan di luar negeri. Misalnya, sejumlah alumni SMK di beberapa provinsi berhasil menembus pangsa kerja luar negeri. Hal ini menunjukkan bahwa lulusan SMK dilirik oleh sektor industri. Seiring perlunya penambahan sarana dan fasilitas pendidikan di SMK, bapak dari satu anak ini menilai, di tahun 2015 rasio jumlah siswa SMK dan SMA dapat menjadi kebalikan dari rasio yang ada saat ini, untuk menuju 70% SMK dan 30 % SMA.
Munculnya gagasan Mendiknas ini, menurut Roni Ridwan,S.Pd, praktisi pendidikan SMK Bina Mulia (BM) Tanjung Enim, jangan sampai karena melihat program pemerintah yang mengutamakan pendirian SMK, kemudian pengelola pendidikan tiba-tiba mendirikan SMK asal-asalan. Misalnya saja, sekedar ada ruang kelas, atau menumpang di sekolah lain , padahal untuk mendirikan SMK harus membangun ruang praktikum dengan standar minimal untuk pembelajaran. Menurut mantan aktifis Menwa Universitas Sriwijaya ini, mendirikan SMK berbeda dengan SMA, karena harus membangun ruang praktikum atau bengkel sehingga butuh biaya tinggi. Jangan sampai SMK-SMK baru hanya menumpang ruang praktiknya ke SMK-SMK yang sudah lama berdiri. Roni juga mengkhawatirkan beberapa SMK baru yang sampai saat ini gedungnya masih menumpang di SD, atau tidak memenuhi standar.
Mahalnya biaya mendirikan SMK dibanding SMA juga dikemukakan FX.Sucipto. Menurut mantan kepala sekolah SMA Bukit Asam tanjung Enim ini, mendirikan SMK, bila dibuat perbandingan menjadi; 20 SMA baru bisa mendirikan satu SMK. Sebab, menurut Sucipto, fasilitas SMK memang membutuhkan biaya yang tidak sedikit. ”Kalau SMA, syaratnya ada kelas, guru dan gedung, semua proses belajar mengajar bisa dilakukan. Tetapi kalau SMK, selain gedung, juga fasilitas pendukung yang memadai, seperti peralatan latihan dari semua jurusan, laboratorium praktik dan lain sebagainya. Untuk memenuhi semua itu SMK tidak bia semudah itu didirikan, tanpa mempertimbangkan segala fasilitas dan sarana prasarana yang dibutuhkan, meskipun ada bantuan dari pemerintah, itu hanya faktor pendukung saja,” tegasnya.
(Boni Soedarman, Romi Maradona)