Oleh M. Arpan Rachman
Penulis adalah Pelaku Seni
“Memiliki seorang pengarang besar bagi rezim yang berkuasa, sama halnya dengan mempunyai sebuah pemerintahan yang lain,” kata Alexander Solzhenitzyn, sastrawan Rusia yang juga pernah dibuang penguasa.
“Setiap manusia yang hidup akan menemui kematian…”
Pramoedya Ananta Toer adalah sastrawan yang menjelma bagai sebuah ikon tentang kebebasan yang dibungkam. Sebagai pengarang, dia mendapatkan nama besar dari penjara ke penjara, menjadi orang hukuman. Mula-mula dijebloskan pada aksi militer I Belanda, kemudian ditahan dan dibuang oleh rezim yang pernah berkuasa di Indonesia.
Di penjara lahir sebagian besar cerita-ceritanya yang terbaik. Cerita-cerita itu antara lain telah diterjemahkan ke berbagai bahasa di dunia. Banyak silang-sengketa masih meliputi sosok Pramoedya Ananta Toer sebagai pribadi. Apa sebenarnya alasan rezim penguasa sampai membuangnya ke dalam kamp konsentrasi di Pulau Buru?
“Memiliki seorang pengarang besar bagi rezim yang berkuasa, sama halnya dengan mempunyai sebuah pemerintahan yang lain,” kata Alexander Solzhenitzyn, sastrawan Rusia yang juga pernah dibuang penguasa. Mungkin saja terpenjaranya Pramoedya dan Solzhenitzyn dapat dihubungkan: karena sama-sama mempunyai nama besar sebagai “pemerintahan yang lain” yang mengeluarkan komunike melalui karya-karya sastra. Dan pertanyaan tersebut dianggap terjawab.
Membaca kumpulan cerita pendek Pramoedya Ananta Toer berjudul Percikan Revolusi Subuh ternyata dapat juga menerbitkan rasa haru yang mendalam. Cerpen-cerpen yang dalam kata pengantar HB Yassin, “…terkarang semasa pengarang(nya) berada dalam tahanan semenjak aksi militer-I tanggal 21 Juli 1947 sampai tahun 1949.”
Memadukan dua judul kumpulan berbeda yang pertama kali terbit di tahun 1951. Berisi dua belas judul cerpen yang ditulis dalam langgam ekspresif: karya pengarang kawakan yang pada suatu zaman buah pikirannya pernah diberangus dan dilarang karena dianggap subversif dan melawan kekuasaan.
Beberapa di antara cerpen-cerpen itu sarat dengan muatan aspek religiusitas (keagamaan) yang seperti mengesahkan diktum: pada awal mula, segala sastra adalah religius (YB Mangunwijaya, 1992). Muncul firasat Pramoedya akan akhirat, misalnya …Sekiranya kulit bumi ini merendah dan kemudian air samudera menggenang dahsyat–manusia akan seperti semut disiram air panas…(halaman 28: cerpen berjudul Gado-gado) yang menyiratkan nuansa tentang hari kiamat.
…Peluru musuh yang seperti kunang-kunang beterbangan, tak sebuah pun yang mengenainya. Tuhan masih melindungi…(60: Ke Mana) yang mengandung pengertian bahwa sang tokoh adalah orang yang mempercayai adanya kekuatan Yang Maha Kuasa.
atau, …Dengan tiba-tiba saja mereka yakin akan adanya Tuhan… (69: Kemelut). Tokoh Abdul dan Maliki adalah dua nama Islami (75: Masa). Percakapan antara Karel dan Willem: dua orang Nasrani (81-97: Orang Baru).
…Dan barulah aku mengerti: ia bersembahyang…(104: Kawanku Se-Sel).
…Tapi yang aneh: doa dan harapanku supaya tak lagi bertemu dengannya terkabul. Aku telah berdosa padanya… (167: Jalan Kurantil 28).
…Dan Tuhan yang satu dan tak terpecah-belahkan itu dipinta untuk memenangkan dua pihak yang bunuh-membunuh: puncak kebebalan manusia! (180: Dendam).
Cerpen-cerpen itu bercerita banyak tentang religiusitas sebagai bagian gagasan yang hendak disampaikan pengarangnya. Terlepas dari masih adanya silang-sengketa sementara kalangan terhadap Pramoedya Ananta Toer yang dulu pernah dihujat karena ditengarai mengekang kebebasan sesama sastrawan. Sekarang di jalan-Nya yang lapang, tentu Pram dengan sendirinya termaafkan.
Rasio yang dapat dijadikan sebagai kacamata mikroskopis tentang sastra yang merupakan wujud emblematik kebudayaan literer yang hidup di dalam masyarakat sekaligus sebagai locus genus bermuara pada khasanah budaya Melayu karena dari kebudayaan tersebut bangsa Indonesia memiliki bahasa ibu, yakni dengan menerapkan karya sastra menjadi logos keilmupengetahuanan bagi generasi muda sejak usia dini sebab dengan cara itulah sastra benar-benar bisa menjadi hak-milik intelektual yang dapat diteoretisasikan dan dipraktikkan serta dipelajari dan diabadikan.
Bangsa yang besar ini tentu tidak ingin mengulangi sejarah buruk berbagai khasanah budaya sastra tutur yang diliterasikan secara oral pada zaman dahulu kala, tetapi jangankan gagasan menjadikannya sebagai salah satu materi pembelajaran untuk umum, bahkan upaya-upaya pendokumentasiannya pun seringkali tidak kunjung dilakukan secara teliti dan memadai, sehingga banyak karya dari khasanah budaya tersebut akhirnya hilang ditelan zaman.
Bila pandangan negatif seperti yang dikatakan Solzhenitzyn terus dibiarkan, secara ironis karya kesusastraan termasuk cerpen-cerpen pramoedya Ananta Toer akan tinggal sebagai artefak budaya akulturasi belaka: karya-karya kesusastraan yang dilestarikan oleh orang asing di dalam museum dan ruang pembicaraan publik di negeri mereka saja.
Tetapi sejarah perunutan kelestarian sebuah karya, terutama karya-karya kesusastraan, tidak mungkin dapat menampik asal-usulnya sendiri sebagai bagian dari “sesuatu yang hilang”. Soalnya mungkin saja sastra Latin adalah hasil proses akulturatif juga: sebuah locus genus yang berawal entah dari mana kemudian terbawa angin hingga ke jalan menuju Roma, yang dapat dijejaki pembentukannya sejauh sejak huruf hiroglif pertama ditemukan.
Lalu jejak rasio sastra merentang jalinan the-missing-link panjang sampai kepada khasanah Melayu, yang tidak lebih dari pengembangan salah satu cabang sinologi dengan unsur kental hinduisme karena menurut sejarah (lagi-lagi!) nenek-moyang kita berasal dari India Belakang atau Yunan --salah satu provinsi miskin di Cina sekarang–yang kemudian berinteraksi dengan kaum pedagang Gujarat (karena itulah maka kita dikenalkan oleh kaum orientalis sebagai Hindia). Atau estimatika lain: kita dan dan sastra kita sebenarnya merupakan bagian pemberontakan terstruktur yang bercampur-baur dalam proses kebanalan, sehingga menjadi genre berciri khas timur yang eksotis dan penuh dengan misteri.
Sastra dalam masyarakatnya, memang harus hidup tanpa menengahi atau menyingkirkan bidang-bidang kehidupan lainnya, terkecuali politik dan kekuasaan yang berlangsung serba-salah atau berat-sebelah sebab kesusastraan ada (hadir) bukan untuk mengada-ada, melainkan hanya sekadar penanda ingatan kolektif zaman sebelum masyarakat di tempat mana sastra itu tumbuh, terjerumus ke dalam situasi dead man society atau mati suri teladan (Fajrullah, 2004).Karya-karya para empu di zaman kejayaan kerajaan-kerajaan di nusantara klasik misalnya, barangkali tidak lebih bernilai susastra daripada karya-karya anonim yang memasyarakat di luar tembok istana. Bukankah belum tentu kitab Kalatida lebih baik secara sastrawi dibandingkan dengan kitab-kitab pasaran tanpa nama terbuat dari daun lontar tua yang dibaca luas rakyat kebanyakan? Atau syair Abdul Muluk karya Raja Ali Haji mungkin tidak lebih cemerlang nilai sastranya ketimbang Zubaidah Sitti dari empu Al Lintani, misalnya? Seperti banyak juga dikenali ahli sastra yang tidak berambisi menjadikan dirinya termasyhur sebagai sastrawan. Seperti halnya banyak dijumpai ilmu tafsir terhadap naskah-naskah kesusastraan yang kemudian akhirnya mengetengahkan karya sastra ditafsirkan bukan sebagai berhala.(*)
Rasio Sastra, Mengenang Pramoedya Ananta Toer
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Comments :
Posting Komentar