Oleh Imron Supriyadi
(Penulis adalah Jurnalis di Palembang)
Lennin, tokoh komunis dunia, pernah mengemukakan; musuh terbesar setelah tumbangnya komunisme adalah Islam. Kalimat ini kesannya usang, tetapi bagi kelompok anti Islam, pernyataan Lennin inilah yang kemudian tetap menjadi pijakan bagi sekutu musuh Islam, untuk terus menerus mengobarkan anti Islam.
Historis kekalahan kaum Yahudi dalam perang Salib meski sudah klise dibicarakan, tetapi sejarah sakit hati itu tidak akan habis oleh pergesaran zaman dan waktu. Bahkan dengan sejarah itulah, dalam setiap generasi ke generasi sekutu musuh Islam terus menerus melakukan doktrin, bahwa Islam adalah musuh terbesar setelah komunis tumbang.
Sedemikian kuat doktrin itu, sedemikian kuat pula kelompok anti Islam akan tetap melakukan serangan terhadap Islam dalam bentuk dan dengan cara apapun. Amerika sebagai negara super power juga menjadi bagian dari mesin penggerak anti Islam di dunia, meski pada fakta lain pusat gerakan Islam internasional (Islamic Centre) juga berada di negara adidaya ini. Tetapi dibalik itu, sikap permusuhan Amerika bersama sekutunya terhadap Islam tetap saja tersimpan dalam catatan sejarah. Tentunya, sejarah ini akan selalu menjadi pijakan dalam setiap gerakan di beberapa negara (baca; umat Islam) di dunia untuk melemahkan kekuatan gerakan Islam, sebagai bagian dendam sejarah Yahudi dalam kekalahan Perang Salib.
Dalam konteks kekinian, serangan Amerika (anti Islam) terhadap kekuatan Islam, tidak dilakukan melalui pendekatan militer sebagaimana kretika Amerika melumpuhkan komunis, meski dalam sejarah Amerika juga sempat kalah oleh Soviet. Mengiringi perkembangan zaman, kecerdasan Amerika yang kemudian menyedot perhatian dunia internasional dimanfaatkan Amerika untuk melakukan serangan terhadap kekuatan Islam melalui berbagai dimensi. Di Indonesia salah satunya, Amerika menyerang Islam melalui politik, sosial dan kebudayaan.
Film, fashion, club-club malam, minuman keras, cafee remang-remang, pergaulan bebas dan sejenisnya telah menjadi senjata ampuh Amerika untuk mengobarkan anti Islam terselubung. Korbannya siapa lagi kalau bukan generasi Islam sendiri. Dengan kata lain, secara fisik Amerika tidak membombardir mortir dan mesiu di Indonesia, tetapi menyitir pernyataan almarhum WS Rendra, secara ideologis, kebudayaan, politik dan ekonomi, bangsa ini sudah 80 persen dikuasai negeri Paman Sam dan sekutunya. Contoh kecil saja, di rumah kita bisa memotong satu erkor ayam dengan membelinya di pasar seharga 30 ribu rupiah. Tetapi karena ada sikap gengsi, kita sering memilih membeli ‘ayam instan’ siap saji ala Amerika (KFC) di beberapa Mall kota besar.
Terlepas dari perspektif performant art (keindahan garapan seni), berapa banyak film produk Amerika yang secara gamblang menabur keburukan Islam di mata dunia internasional. Belum lagi siaran televisi Indoneia yang cenderung ‘meniru’ bahkan meng-impor Amerika dengan bermacam program dari A sampai Z, tanpa menimbang dampak moral yang ditimbulkan dari acara tersebut. Pakaian, pergaulan dan masih banyak lagi simbol-simbol Amerika yang ditelan mentah-mentrah oleh generasi bangsa ini, bukan remaja tetapi juga kalagan tua sudah menjadi trend dan gaya hidup.
Terhadap munculnya teroris, menurut saya juga menjadi bagian setting Amerika untuk menghancurkan Islam di mata dunia. Sudah menjadi sejarah, dalam setiap gerakan politik di belahan dunia manapun, Amerika selalu berada dibalik semuanya, baik berlatarbelakarang ekonomi, sosial, politik bahkan agama. Dalam konteks politik Indonesia, kejatuhan Bung Karno juga sangat kental keterlibatan Amerika (Keterlibatan CIA dalam Kejatuhan Soekarno ; 2009). Kemudian kejatuhan Gus Dur, juga tidak lepas dari urun rembug Amerika di belakangnya, termasuk naiknya SBY sangat mungkin Amerika juga terlibat di dalamnya, meski masih memerlukan kajian lebih detil.
Upaya Amerika menciptakan terorisme di Indonesia diduga kuat dimulai sejak pemerintah Indonesia melarang bantaun langsung dari luar negeri ke kantong-kantong Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), pasca jatuhnya Orde Baru. Di masa itu, beberapa lembaga donor yang notabene-nya corong Amerika demikian gencar menggulirkan dana bantuan ke berbagai lembaga swasta. Tujuan awalnya untuk mengampayekan demokratisasi di Indonesia melalui beberapa LSM. Hampir semua gerakan untuk mendorong demokrasi Indonesia didanai melalui berbagai kegiatan.
Guliran dana ini kemudian masuk pula ke beberapa lembaga Islam, baik Islam yang beraliran moderat, abagan, santri maupun aliran tradisional. Di satu sisi, selain menggulirkan dana, dalam konteks ideologis Amerika juga menggulirkan ‘tafsir-tafsir sekuler’ terhadap pemahaman agama Islam, melalui beberapa tokoh Islam yang sebelumnya sudah didanai secara gratis (beasiswa) untuk menempuh studi di Amerika. Sepulang di Indonesia, beberapa tokoh kemudian menebar sekulerisasi, baik melalui seminar maupun dalam institusi pendidikan. Intinya, Amerika menginginkan adanya benturan antara Islam tradisional dan Islam moderat dengan menggulirkan isu-siu baru. Ketika pertentangan dua kubu Islam terjadi, Amerika kemudian menciptakan isu baru, baik yang berhubungan langsung dengan konflik Islam itu sendiri atau dengan isu lain yang sama sekali tidak berhubungan dengan agama.
Dalam hal terosrisme, ketika kemudian di era Megawati didesakkan menjadi Undang-Undang, semua juga tidak lepas dari intervensi Amerika. Bahkan penahanan Abu Bakar Ba’asyir juga bagian dari setting Amerika. Targetnya, Pengasuh Pondok Pesantren Ngruki ini harus ditahan sebagai bagian pelaku teror, meski dengan alasan yang tidak cerdas, yaitu bepergian ke Malaysia tanpa paspor. Munculnya Ba’asyir sebagai narapidana politik, sedikit banyak telah menciderai umat Islam, khususunya kalangan pesantren. Tujuan Amerika bukan ingin menghancurkan pesantren secara sporadis melalui gerakan militer, tetapi menciptakan publik opini di masyarakat, pesantren adalah sarang teroris. Terget ini berhasil, ketika kemudian Indonesia dengan segenap aparatnya melakukan inspeksi ke setiap pesantren. Apa yang timbul kemudian? Masyarakat tidak ingin memasukkan putra-putrinya ke pesantren, karena dalam faktanya beberapa pelaku teroris mayoritas almunus pesantren. Sikap sebagian masyarakat yang anti persantren inilah yang sebenarnya menjadi target Amerika, dalam upaya menggerogoti kader-kader militan Islam. Ada upaya de-moralisasi agama di dalamnya.
Dalam catatan lain, Amerika sedemikian kental dikenal sebagai negara yang selalu berdiri diantara dua kaki (standar ganda). Di satu sisi mengampayekan HAM dan demokrasi, tetapi di sisi lain Amerika juga yang melanggar HAM dan demokrasi dengan beberapa gerakan militernya di beberapa negara Islam tanpa kompromi. Dengan fakta ini, bukan tidak mungkin gerakan teroris ini juga bagian dari setting (strategi) Amerika untuk menghancurkan Islam. Pertanyaannya adalah, kalau ini setting Amerika tetapi mengapa banyak orang Amerika juga yang menjadi korban bom dari teroris? Sekali lagi, dari awal saya sebutkan, Amerika adalah negara yang berstandar ganda, oleh sebab itu Amerika tidak segan-segan juga mengorbankan warganya sendiri dengan mengambingtamkan orang lain (kalangan Islam), selagi target dan tujuannya tercapai.
Dengan analisa ini, boleh saja orang beranggapan ini adalah tuduhan yang tidak berdasar. Tetapi sangat mungkin, tokoh teroris yang kini menjadi otak pengeboman di berbagai negara bukan semata-mata jihad, tetapi ada target material, yang sama sekali tidak diketahui oleh para ‘pengantin’ yang siap mengenakan bom bunuh diri atas dasar membela Islam. Menyitir kalimat seorang tokoh politik, ada lelucon, Noordin M Top memang bukan untuk ditangkap tetapi untuk dicari, supaya paket senjata ke pelaku teroris tetap berjalan, sekaligus dapat menggerakkan roda perekonomian Amerika melalui pengiriman peralatan militer ke kelompok teroris di beberapa negara. (Palembang, 15 Agustus 2009)
TERORISME DAN REKAYASA AMERIKA
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Comments :
Posting Komentar