JEBAKAN AKADEMIK

Oleh Darwin Syarkowi
Praktisi Radio Smart FM Palembang

Runtuhnya Peguruan Shaolin Kung Fu, bermula dari keengganan seorang guru (Master Shaolin) menularkan ilmunya secara utuh kepada para muridnya. Ibaratnya, dari 72 jurus Kung Fu Shaolin, ada satu jurus yang tidak diajarkan kepada muridnya. Bukan karena tidak ada waktu untuk melatihnya, tetapi bermula dari keengganan Sang Guru Shaolin mengajarkannya secara lengkap dan utuh. Bagaimanapun, seorang Master Shaolin tidak ingin ada murid yang bisa melebihi kehebatan ilmunya. Akibatnya, para murid perguruan yang bermula dari Pegunungan Shongsan, Provinsi Henan, Cina ini tetap berada dibawah Sang Guru.
Dari generasi ke generasi, keutuhan jurus di Perguruan Kung Fu Shaolin kian berkurang. Dalam setiap generasi mengurangi satu jurus. Hingga akhirnya, Perguruan yang didirikan Batuo, seorang pendeta India sekitar tahun 495 M ini, kini tinggal sebuah legenda, meskipun ada beberapa negara yang tetap mengembangkannya. Tetapi semua itu jauh dari keaslian dari 72 jurus Kung Fu Shaolin yang sebenarnya, ketika perguruan ini didirikan di pegunungan Siaw Lim (gunung kecil), Cina.
Kontekstualisasi antara dunia Shaolin dan dunia pendidikan kita, saya pikir tidak jauh berbeda keadaannya. Dari sebagian tenaga didik (guru dan dosen) di sekolah atau dosen di kampus perguruan tinggi, ada saja mentalitas tenaga didik yang tidak ingin mempunyai anak didik yang ilmunya melebihi dirinya. Atau minimal, sebagian tenaga didik di negeri ini tidak ingin ada salah satu anak didiknya yang agak ‘aneh’ di dalam kelas dan ruang kuliah, apalagi diberi peluang untuk protes, menyanggah pendapat sang guru dan sang dosen.
Bagi sebagian anak didik yang mencoba ‘berani’ memberi argumentasi dalam sebuah diskusi di dalam maupun di luar kelas, anak didik tidak jarang harus berhadapan dengan ancaman nilai akademik, sebagai akibat ‘melawan tenaga didik’ tadi. Protes dan mengritik, di negeri ini masih terus dianggap tabu, atau bahkan dianggap satu kejahatan yang seolah tidak akan mendapat pengampunan, kecuali harus dikeluarkan dari lingkungan lembaga pendidikan alias di-drop out (DO).
Secara historis, perilaku dan sikap ‘anti kritik’ yang hingga kini masih tertanam pada sebagian tenaga didik, tidak lain sebagai akibat dari hegemoni ideologi Orde Baru (Orba) yang selama 30 tahun lebih telah berhasil membungkam mulut, hati dan sikap kritis dari 150 juta rakyat Indonesia, meskipun ini bukan faktor satu-satunya. Tetapi apapun alasannya, proses pembungkaman dan pengebirian daya kritis yang dilakukan Orba di era Soeharto (1968-1998), telah mencerabut keberanian berbeda pandangan antara satu sama lain. Akibatnya, murid di sekolah, mahasiswa di kampus juga dipaksa harus berpikir sama dengan dosen, minimal jangan sampai ilmu anak didik melebihi yang mendidik, apalagi harus melakukan protes.
Protes dengan mengeluarkan segala argumentasi akademik di depan guru dan dosen, sampai hari ini seakan menjadi gumpalan dosa. Anak didik, baik siswa dan mahasiswa secara intelektual, kesannya harus tetap berada di bawah dosen dan guru. Sama halnya nasib para murid Shaolin yang tidak boleh lebih hebat ilmunya dari Sang Pendekar.
Mentalitas seperti itu kemudian menggurita pada diri pada sebagian tenaga didik. Akibatnya, anak didik harus tunduk dan patuh pada guru, dosen atau ikut sistem yang berjalan, meskipun sistem yang diterapkan menawakan jebakan tehadap masa depan anak didik itu sendiri. Yang terjadi kemudian, jutaan anak didik di negeri ini usai menamatkan sekolah dan kuliahnya, bukan tumbuh kemandirian berpikirnya, melainkan yang berkembang adalah penumpulan kreatifitas. Kondisi ini sama persisnya ketika jutaan ratkat Indonesia di masa Orba harus mikul nduwur mendem njero, (menyembunyikan keburukan atasan di dalam hati, demi kebaikan fisik yang palsu). Bahasa lainnya adalah, lain di mulut lain di hati, yang penting Asal Bapak Senang (ABS).
Sikap berbeda pandangan anak didik terhadap tenaga didik, sebaiknya dari sekarang sudah dibudayakan di setiap lembaga pendidikan. Tujuanya bukan untuk saling salah dan menyalahkan, tetapi dengan perdebatan ini, akan menumbuhkembangkan wawasan keduanya, sekaligus akan melahirkan kajian baru tentang tema yang tengah diperdebatkan itu. Bukan malah sebaliknya, tenaga didik kemudian mengancam yang bersangkutan dengan nilai buruk atau dikeluarkan dari lembaga pendidikan.
Inilah bedanya antara pola dan sistem pendidikan kita dengan negara berkembang, sebut saja Jerman. Meski hanya dua minggu, tetapi saya di negeri itu banyak mendapat pelajaran, betapa sistem pendidikan di negeri ini sama sekali menerapkan pola yang tidak mendorong kreatifitas dan kemandirian anak didik. Di Jerman, perdebatan antara guru dan murid sudah menjadi hal biasa. Kritik, protes dan perang argumentasi menjadi sesuatu yang seolah diwajibkan harus terjadi. Sebab dengan cara itulah, murid dan guru bisa terdorong untuk sama-sama menggali, untuk kemudian di lain hari dipedebatkan kembali dengan tambahan literatur dan hasil penelitian.
Hal lain yang menjadi perbedaan prinsip adalah, di negeri ini nilai akademik seakan menjadi simbol sakral (angka suci) yang mesti dikejar dan diagungkan. Deretan nilai akademik diatas angka tujuh telah menjadi jaminan kecerdasan anak didik. Padahal, jajaran angka di raport, ijazah dan hasil kartu studi (KHS), hanya seujung kuku dari proses pejalanan akademik, bukan tujuan akademik itu sendiri. Tetapi di negeri ini, angka menjadi standar nilai kepintaran dan kecerdasan anak didik. Oleh karenanya, sampai saat ini anak didik, baik di sekolah maupun di kampus sering kali terjebak pada kubangan nilai akademik, bahkan kalau bisa cumlaude (prestasi sangat memuaskan di peguruan tinggi), meski harus kasak kusuk dengan dosen pembimbingnya. Yang meyedeihkan, dosen dan guru membuka diri bermain dalam jebakan akademik tadi.
Pertanyaannya sekarang, bila nilai akademik menjamin kecerdasan anak didik secara intelektual dan secara sosial, mengapa perguruan tinggi tetap menjadi mesin pembuat jutaan pengangguran intelektual? Atau berapa persen alumnus SMK yang sanggup berdikari di kaki sendiri dalam menghidupi keluarganya? Jauh dari target. Ini sebagai akibat, pemenuhan kualitas anak didik bukan pada bagaimana mereka didorong bisa mandiri, tetapi sebagian tenaga didik kita hanya menyampaikan teori akademik dari buku ke buku, tanpa mempertimbangkan bagaimana anak didik juga harus cerdas secara sosial di tengah kompetisi global.
Bila kemudian Mendiknas Bambang Sudibyo menggagas terhadap pentingnya peningkatan persentase SMK 70% dan SMA 30%, untuk mengurangi jumlah pengangguran di Indonesia, bagi saya ini hanya akan menjadi utopia (hayalan) belaka, selama pola pikir, mindset (cara pandang) setiap tenaga didik di sekolah dan di kampus tidak dimulai dengan pijakan bagaimana pesan pendidikan itu seharusnya bukan sebatas meng-agungkan nilai akademik, tetapi juga mendorong kreatifitas anak didik. Tujuannya, di kemudian hari cara berpikir anak didik bukan terjebak bagaimana setelah selesai pendidikan menjadi karyawan perusahaan dan menjadi pegawai negeri sipil semata, tetapi jauh lebih penting dari itu adalah, bagaimana membangkitkan sikap enterpreunership (kewirausahaan) pada diri setiap murid.
Kesiapan berbeda pandangan antara anak didik dan tenaga didik menjadi awal mula untuk membangkitkan kreatifitas dan kemandirian itu. Sebab, dengan membiarkan guru dan dosen sebagai sumber “kebenaran mutlak” sementara anak didik hanya menjadi pendengar setia tanpa boleh mendebatnya, maka proses pencerdasan sosial bagi anak didik hanya akan menjadi hayalan belaka. Selama pola ini tidak dirubah, sudah barang tentu, gagasan Mendiknas itu juga hanya akan menjadi legenda, sebagaimana gagasan Mendiknas era Soeharto, Wardiman Djoyonegoro tentang sistem link and mach, yang hanya berjalan seumur jagung.(*)

Comments :

0 komentar to “JEBAKAN AKADEMIK