SMK BISA! SUDAH BISA MAU APA?

Laporan : Romi maradona & Boni Soedarman



Genderang peningkatan jumlah Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) menjadi 70% yang ditargetkan sampai 2015 sudah ditabuh. Tujuan utamanya pengurangan jumlah pengangguran dan menambah tenaga terampil yang siap diserap dunia kerja. Gagasan ini, kemudian menjadi tantangan berat bagi Menteri Pendidikan, Prof Bambang Soedibyo, atau menteri selanjutnya untuk tetap konsisten meneruskan program ini. Jika kemudian gagasan Bambang, terhenti oleh pergantian menteri, maka ide ini nasibnya tak beda jauh dengan link and macth-nya Mediknas era Soeharto, Wardiman Djoyonegoro, yang kemudian hilang diganti dengan Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA), dan berlanjut ke Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) hingg akhirnya pada KTSP dan besok entah apalagi.
Merunut perjalanan sistem dan kurikulum pendidikan Indonesia serasa menyesakkan dada. Tetapi inilah adanya. Tinggal bagaimana setiap lembaga pendidikan menyikapi hal ini dengan kreatifitas, sehingga tidak terjebak dengan bermacam perubahan yang tidak pernah tuntas. Inilah sekelumit keprihatinan yang disampaikan Ketua Yayasan Pendidikan Islam Bende Seguguk (YPIBS) Kayuagung, Ogan Komering Ilir (OKI), Abdul Hamid Usman, S.H. M.Hum, kepada PRESTASI, gemilang pekan silam.
Mengiringi perjalanan pemerintahan baru, kini program peningkatan jumlah SMK 70% dan SMA 30% digulirkan. Pada satu kesempatan, Bambang Soedibyo menyatakan optimis akan mampu mengubah rasio jumlah SMK menjadi 70% dengan 30% Sekolah Menengah Umum (SMU). Misi Pemerintah ini ditargetkan selesai hingga 2013 untuk mengurangi pengangguran di Indonesia. "Optimis, target men-SMK-kan bisa tercapai sebelum 2013," kata Bambang usai berkunjung ke SMKN 6 Palembang, pekan silam.
Menurutnya, secara keseluruhan perkembangan SMK di Indonesia semakin baik. Terbukti saat ini, terdata hampir di seluruh wilayah jumlah SMK sudah mencapai rasio 50 persen atau seimbang dengan jumlah SMU, terutama di daerah Jawa. "Kenyataan inilah makanya kami optimis," kata Bambang. Mekanisme penambahan SMK di tiap daerah, menurut Bambang, kebijakan sepenuhnya diserahkan masing-masing otonomi daerah. Dirinya optimis bila sebelum tahun 2013 target tersebut tercapai. Terlebih, saat ini jumlah alumnus SMP yang masuk ke sekolah SMK meningkat hampir 70 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Selain itu, rata-rata angkatan kerja setelah lulus di SMK mampu terserap tenaganya secara penuh di satu perusahaan, karena mereka sudah terlatih diberikan program keahlian.
"Datanya hanya 17 persen saja pekerja yang menyandang status sarjana kurang mampu bekerja, sisanya banyak yang menganggur, itu tamatan SMA. Kalau keadaan ini dibiarkan terus maka mau dilimpahkan kemana penggugaran tamatan SMA," kata Bambang.
Lebih lanjut Mendiknas mengatakan, SMK merupakan satuan pendidikan yang perannya perlu ditingkatkan. Sementara semua satuan pendidikan, termasuk SMK, harus mengacu standar mutu nasional pendidikan, sehingga betul-betul ada jaminan mutu. Dalam rangka itu, di masa mendatang akan dilakukan akreditasi secara besar-besaran terhadap semua satuan pendidikan. Pemerintah akan menyediakan dana melalui APBN. Dari situ akan ada sertifikasi pendidikan. Sertifikasi itu sangat cocok bagi SMK.
Terkait dengan peningkatan mutu, kata Mendiknas, tiap kabupaten dan kota didorong untuk membuat sekolah bertaraf internasional, disamping sekolah unggulan yang berbasis ekonomi dan sosio cultural. Jadi, antara satu daerah dengan daerah lain yang memiliki sekolah unggulan yang berbasis lokal.
SMK Plus adalah Solusi
Dalam rangka pelaksanaan pilar pembangunan di bidang pendidikan nasional untuk meningkatkan akses dan pemerataan serta peningkatan mutu pendidikan SMK, Bambang menyebutkan, melalui APBN tahun 2009 telah dialokasikan dana bantuan untuk pembangunan ruang kelas baru (RKB) SMK, pembangunan workshop, laboratorium dan perpustakaan SMK, pengadaan peralatan SMK rintisan SSN, serta pengadaan peralatan SMK Pra-SSN. Salah satu tahapan dalam pemberian bantuan tersebut, berupa kegiatan penandatanganan surat perjanjian dan bimbingan teknis pemberian bantuan tahun anggaran 2009. Program tersebut, menurut Bambang, tentu akan menjadikan SMK Plus, yaitu tersedianya peralatan, worshop, laboratorium dan perpustakaan, plus jaringan internet gratis di setiap SMK di Indonesia. ”Kesungguhan pemerintah ini harus didukung, keberpihakan pemerintah melalui program SMK bisa bukan hanya untuk sekedar umbar janji pada masa kampanye lalu, tetapi akan menjadi program permanen yang terencana dan berkelanjutan,” tegasnya.
Baru 50% bisa bekerja
Sementara itu, Direktorat Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah (Mandikdasmen) Dediknas menargetkan, 70% lulusan SMK langsung kerja pada tahun kelulusan. Target itu diharapkan terealisasi pada 2010. Hal itu sesuai rencana strategis (renstra) 2010-2014, sekaligus menjawab kebutuhan sektor industri formal di Indonesia.
Direktur Pembinaan SMK, Joko Sutrisno, mengatakan, saat ini belum semua siswa kejuruan bisa langsung bekerja setelah lulus. Persentasenya masih 50%. Padahal, mereka memang diorientasikan untuk bekerja. Apalagi, di berbagai daerah saat ini banyak yang membutuhkan tenaga terampil. “Kita harapkan anak didik kita bisa mengisi kebutuhan itu,” terangnya.
Untuk memenuhi target itu, Joko mengakui sudah memiliki rencana strategis. Salah satunya terus menambah teaching factory di sekolah kejuruan. Saat ini sudah tersedia 1.250 teaching factory di SMK. Selain itu, ada 40 SMK yang memiliki pusat kewirusahaan bidang bisnis dan manajemen, serta 30 SMK dengan business center bidang pertanian maupun kelautan. Dengan berbagai fasilitas itu, siswa SMK dapat praktikum bekerja. “Praktiknya riil. Kalau jadi kasir, ya beneran. Demikian pula banyak siswa SMK yang belajar montir,” ujarnya.
Bukan hanya itu, pihaknya juga siap menambah praktikum siswa jurusan pariwisata. Saat ini sudah ada 100 SMK di Indonesia yang menerapkan praktikum hotel berbintang. Agar siswa SMK cepat terserap setelah lulus, pihaknya akan memperbanyak kerja sama dengan sektor industri. “Program job placement kita perluas,” cetusnya.
Untuk mengurangi tingkat pengangguran, Joko akan membuka industri mesin mobil berbasis SMK. Pendirian satu industri diperkirakan mampu menyerap 100 tenaga kerja SMK. Pendirian industri mesin mobil itu akan berimbas dibukanya 1.000 bengkel di SMK maupun di luar SMK. Tiap bengkel diperkirakan bisa memperkerjakan tiga orang.
Sekitar 15 persen dari kebutuhan tenaga kerja di perbengkelan itu diambil dari siswa SMK jurusan mesin otomotif. Termasuk, dibukanya industri sepeda motor. Bidang usaha otomotif dinilai Joko sangat punya masa depan yang baik. “Sebab, kemampuan anak didik kita ini tidak kalah dengan tenaga ahli lulusan yang lebih tinggi. Untuk bidang itu, tenaga kerja lulusan SMK yang dibutuhkan sekitar 10 ribu orang. Selain bidang kewirausahaan, semaksimal mungkin pihaknya menyalurkan lulusan SMK di sektor formal,” ungkapnya.
Beasiswa yang berprestasi
Menanggapi hal itu, Jum Herman,S.Ag, Kepala SMK di Muaraenim menilai rasio jumlah siswa yang tidak seimbang antara SMK dan SMA ini, memang perlu diseimbangkan. Terkait hal itu, menurut dia, pemerintah perlu melakukan peningkatan infrastruktur SMK untuk menyeimbangkan antara siswa SMA dan SMK. Hal ini berarti, infrastruktur yang baik akan menarik minat masyarakat untuk bersekolah di SMK.
Selain memperbaiki dan melengkapi infrastruktur SMK, pemerintah juga perlu menambah jumlah guru. Selain itu, untuk memacu siswa berprestasi lebih baik, pemerintah juga memprogramkan beasiswa kepada para siswa yang berprestasi dan mempunyai potensi untuk menjadi tenaga pendidik.
Direktur AMIK Rama Muaraenim ini mengatakan, saat ini banyak lulusan SMK yang berhasil, bahkan mendapatkan pekerjaan di luar negeri. Misalnya, sejumlah alumni SMK di beberapa provinsi berhasil menembus pangsa kerja luar negeri. Hal ini menunjukkan bahwa lulusan SMK dilirik oleh sektor industri. Seiring perlunya penambahan sarana dan fasilitas pendidikan di SMK, bapak dari satu anak ini menilai, di tahun 2015 rasio jumlah siswa SMK dan SMA dapat menjadi kebalikan dari rasio yang ada saat ini, untuk menuju 70% SMK dan 30 % SMA.
Munculnya gagasan Mendiknas ini, menurut Roni Ridwan,S.Pd, praktisi pendidikan SMK Bina Mulia (BM) Tanjung Enim, jangan sampai karena melihat program pemerintah yang mengutamakan pendirian SMK, kemudian pengelola pendidikan tiba-tiba mendirikan SMK asal-asalan. Misalnya saja, sekedar ada ruang kelas, atau menumpang di sekolah lain , padahal untuk mendirikan SMK harus membangun ruang praktikum dengan standar minimal untuk pembelajaran. Menurut mantan aktifis Menwa Universitas Sriwijaya ini, mendirikan SMK berbeda dengan SMA, karena harus membangun ruang praktikum atau bengkel sehingga butuh biaya tinggi. Jangan sampai SMK-SMK baru hanya menumpang ruang praktiknya ke SMK-SMK yang sudah lama berdiri. Roni juga mengkhawatirkan beberapa SMK baru yang sampai saat ini gedungnya masih menumpang di SD, atau tidak memenuhi standar.
Mahalnya biaya mendirikan SMK dibanding SMA juga dikemukakan FX.Sucipto. Menurut mantan kepala sekolah SMA Bukit Asam tanjung Enim ini, mendirikan SMK, bila dibuat perbandingan menjadi; 20 SMA baru bisa mendirikan satu SMK. Sebab, menurut Sucipto, fasilitas SMK memang membutuhkan biaya yang tidak sedikit. ”Kalau SMA, syaratnya ada kelas, guru dan gedung, semua proses belajar mengajar bisa dilakukan. Tetapi kalau SMK, selain gedung, juga fasilitas pendukung yang memadai, seperti peralatan latihan dari semua jurusan, laboratorium praktik dan lain sebagainya. Untuk memenuhi semua itu SMK tidak bia semudah itu didirikan, tanpa mempertimbangkan segala fasilitas dan sarana prasarana yang dibutuhkan, meskipun ada bantuan dari pemerintah, itu hanya faktor pendukung saja,” tegasnya.
(Boni Soedarman, Romi Maradona)

Comments :

0 komentar to “SMK BISA! SUDAH BISA MAU APA?”