Potret pengangguran dan kemiskinan memang tak kunjung henti. Bukan saja di daerah, melainkan sudah menjadi persoalan nasional, yang berpuluh tahun umurnya. Kemiskinan dan pengangguran, merupakan dua kenyataan yang keduanya muncul hampir selalu bersamaan. Kemiskinan yang kemudian mengakibatkan pengangguran? Atau pengangguran yang menimbulkan kemiskinan? Agak sulit menjawabnya, sebab keduanya sering muncul seperti pantun bersahut. Di satu pihak, keluarga menjadi miskin karena anggota keluarganya menganggur, dan di pihak lain, orang menganggur akibat lahir dari keluarga miskin dan tak mempunyai kesempatan mengenyam pendidikan yang layak. Sama persisnya menjawab pertanyaan mana yang lebih dulu, ayam atau telur?
Dalam catatan Badan Pusat Statistik (BPS) Sumsel, sebagaimana dilansir beberapa media di Palembang, jumlah angkatan kerja di Sumsel per Februari 2009 lalu, mencapai 3.487.999 orang. Angka tersebut bertambah 15.987 orang dibandingkan jumlah terakhir pada Agustus 2008 yang mencapai 3.472.012 orang. Jika dibandingkan Februari tahun lalu (2008, red) telah terjadi penambahan angkatan kerja 33.688 orang dari angka 3.454.311 orang. Kabid Statistik Sosial BPS Sumsel, Dra Dyah Anugrah K mengatakan, perhitungan kondisi ketenagakerjaan di Sumsel mengikuti aturan ILO. Survei data dilakukan dua kali dalam setahun, yakni per Februari dan Agustus. “Yang jadi referensi adalah kondisi seminggu sebelum pencacahan,” jelasnya. Seseorang yang bekerja minimal 1 jam dalam seharinya selama 7 hari berturut-turut sudah bisa dikatakan bekerja.
Untuk jumlah penduduk Sumsel yang bekerja sendiri mencapai 3.195.765 orang. Atau bertambah 4.410 orang dibandingkan kondisi Agustus 2008. Jika dibandingkan jumlah per Februari tahun lalu sebanyak 3.162.257 orang artinya terjadi penambahan jumlah penduduk yang bekerja sebanyak 33.508 orang. Bagaimana dengan kondisi angka pengangguran di Sumsel?
Dyah menjelaskan, angka pengangguran Sumsel per Februari 2009 terjadi peningkatan cukup banyak, yakni sebesar 11.577 orang dari 280.657 orang, pada Agustus 2008 menjadi 292.234 orang pada Februari 2009. Dibandingkan Februari tahun lalu, hanya terjadi peningkatan 180 orang. “Kondisi ini memang tidak bertahan lama, karena masyarakat kita tidak seperti di Amerika Serikat di mana pengangguran dapat santunan dari negara. Makanya, tidak ada yang tahan untuk menganggur,” jelasnya.
Lebih lanjut, Dyah mengatakan, dengan jumlah pengangguran yang ada, tingkat pengangguran terbuka jika dihitung per Februari 2009 mencapai 8,38 persen atau mengalami peningkatan 0,3 persen dibanding kondisi Agustus 2008. Namun, jika dibandingkan Februari tahun lalu terjadi penurunan sekitar 0,07 persen. Dan selalu saja, tingkat pengangguran terbuka untuk kaum wanita lebih tinggi dari kaum pria. “Terhitung Februari 2009, tingkat pengangguran terbuka kaum wanita mencapai 9,44 persen, sedangkan kaum laki-laki hanya 7,74 persen,” tukas Dyah. Dari total pengangguran di Sumsel, sebagian masuk kelompok setengah pengangguran. Jumlahnya mencapai 1.128.446 orang atau sekitar 32,35 persen. Artinya, dari 100 angkatan kerja, sebanyak 32 orang hingga 33 orang mempunyai jam kerja kurang dari 35 jam per minggu. Situasi ketenagakerjaan Sumsel per Februari 2009 lalu, ditandai dengan meningkatnya jumlah pekerja secara absolut hampir di seluruh sektor, kecuali sektor pertanian dan konstruksi.
Persentase terbesar penduduk laki-laki di Sumsel yang bekerja per Februari berstatus berusaha dibantu buruh tidak tetap/buruh tidak dibayar yaitu 33,4 persen. Sementara, persentase terbesar dari penduduk wanita yang bekerja di Sumsel berstatus pekerja tidak dibayar mencapai 42,8 persen.(Sumatera Ekspres:18/05/2009-diolah)
WAJAH KUSAM PENGANGGURAN DI SUMSEL
Label:
LAPUT (Agustus 2009)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Comments :
Posting Komentar