Mau melanjutkan pendidikan setelah SMA? Mungkin inilah yang saat ini sedang terpikir siswa yang baru saja tamat Sekolah Menengah Atas (SMA). Pertanyaan klasik yang kadang sulit menjawabnya adalah bagaimana memilih Perguruan Tinggi. Bagaimana tidak susah? Perguruan Tinggi di Indonesia kan sangat banyak, baik Perguruan Tinggi Negeri (PTN) atau Perguruan Tinggi Swasta (PTS)? Mungkin diantara kita ada yang merasa kesulitan dalam menyeleksi satu persatu dari ratusan Perguruan Tinggi di Indonesia. Tetapi kita tidak perlu bingung, sebab Majalah Prestasi gemilang akan memberi tips bagaimana memilih Perguruan Tinggi. Sekarang persiapkan diri untuk membacanya sampai tuntas.
Memburu Perguruan Tinggi, memang sudah menjadi agenda tahunan bagi para alumnus SMA. Tujuannya untuk melanjutkan jenjang pendidikan. Sebagian S.1, ada pula yang mengambil D-1, D-2 dan D-3. Sisanya boleh jadi tidak melanjutkan ke perguruan tinggi, dengan bemacam alasan. Tidak minat. Biaya terbatas, atau ingin langsung mencari pekerjaan karena tuntutan kebutuhan ekonomi keluarga.
Mengiringi persaingan dalam memburu ‘kampung sarjana’ menjadi tantangan setiap Perguruan Tinggi. Wajar saja bila kemudian menjelang tahun ajaran baru, hampir setiap media memuat iklan penerimaan mahasiswa baru dari beberapa Perguruan Tinggi, dengan menyebut bermacam fasilitas yang tersedia di kampusnya. Sejak kurikulum, sarana prasarana, tenaga dosen sampai penyaluran tenaga kerja setelah mereka selesai kuliah.
Banyaknya tawaran dari Perguruan Tinggi Negeri (PTN) maupun Perguruan Tinggi Swasta (TPS) dapat menjadi ruang yang bebas bagi para calon mahasiswa dalam menentukan pilihan. Tetapi di sisi lain, bukan tidak mungkin, para calon mahasiswa menjadi bingung akan kemana mereka melanjutkan kuliah.
“Kebingungan ini paling tidak disebabkan oleh dua hal. Pertama, keinginan calon mahasiswa yang tidak diikuti oleh kemampuan sebagian orang tua dalam membiayai kuliah, apalagi yang bersangkutan ingin masuk di perguruan tinggi swasta yang bengengsi. Ini tentu memerlukan biaya yang tidak sedikit. Kedua, ada sebagian calon mahasiswa tidak mengukur potensi diirnya, akan kemana mereka mengambil jurusan. Sehingga, tidak jarang, ketika sudah masuk dalam perguruan tinggi, tiba-tiba di tengah perjalanan pindah jurusan,” kata Roni Ridwan, S. Pd, salah satu praktisi Pendidikan di Muara Enim.
Bagi yang calon mahasiswa yang lahir dari keluarga mampu, sangat mungkin untuk memilih perguruan tinggi yang bonafide. Tetapi bagi keluarga yang memiliki dana pas-pasan, sering terjebak pada pilihan jurusan yang tidak sesuai minatnya. Oleh sebab itu, tidak sedikit wali siswa yang menuntut putra-putrinya asal kuliah, yang penting biayanya murah.
Maskur, 56 tahun, salah satu orang tua siswa di Palembang mengaku, pada awalnya ia berkeinginan memasukkan anaknya ke perguruan tinggi yang bergengsi. Tetapi karena keterbatasan biaya, akhirnya menyuruh anaknya memilih perguruan tinggi yang biayanya terjangkau, meskipun tidak bergengsi.
“Bagi saya, yang penting anak saya kuliah. Terserah mau kuliah dimana yang penting saya bisa membiayai. Dari pada idak kuliah,” kata buruh meubeler ini kepada PReTASI gemilang, pekan lalu.
Ada beberapa hal yang sering diluar perhitungan. Seringkali PTN atau PTS yang kita inginkan tidak sesuai dengan keadaan keuangan orang tua kita. Kuliah di Perguruan Tinggi memang banyak komponen biaya yang kadang tidak terduga. Misalnya uang pendaftaran, uang gedung, spp, uang praktikum, dan lain-lain. Yang lebih tidak nggak diperkirakan adalah biaya mendadak, seperti fotokopi, beli buku, ataupun transportasi. Belum lagi kalau kita musti kos, karena tempat kuliah yang jauh dari rumah. Jadi, supaya aman, pada saat kita akan melakukan pendaftaran, tanyakan secara detail biaya apa saja yang harus kamu tanggung selama kuliah. Perhitungkan juga biaya lain-lain yang akan ditanggung saat menjadi mahasiswa. Diskusikan masalah tersebut bersama orang tua agar orang tua tidak kalang kabut mencari biaya setelah kita kuliah di tempat tersebut.
Menghadapi ‘perlombaan’ memburu perguruan tinggi ini setiap sekolah kemudian memiliki beban tanggngjawab yang tidak ringan. Di sebagian SMA ternama, jauh sebelum ujian akhir dilakukan, masing-masing SMA sudah melakukan lobi ke beberapa PTN atau PTS di luar Sumatera, dengan harapan beberapa alumnusnya bisa diterima dengan mulus. Syukur syukur dengan PMDK. Bila ini berhasil, paling tidak akan menambah daya minat wali murid untuk memasukkan putra-putrinya ke SMA yang bersangkutan di tahun berikutnya. Sebab diakui atau tidak, dengan cara ini sedikit banyak akan berpengaruh pada brand image (nama baik sebuah SMA, baik negeri mapun swasta).
Menghadapi penerimaan mahasiswa ini, tanggungjawab lain bagi setiap guru SMA adalah memberi arahan kepada setiap alumnusnya akan kemana mereka memilih perguruan tinggi sesuai dengan potensi yang dimiliki dari masing-masing siswa.
Adi Kurniawan, S. Pd, salah satu tenaga didik SMA di Tanjung Enim menyebutkan, jauh sebelum para siswa menentukan pilihan, setiap guru sangat perlu melakukan pengarahan, sehingga para almunusnya tidak salah dalam memilih jurusan di perguruan tinggi.
Dalam menelusuri minat siswa inilah, seorang guru kemudian menanyakan kepada siswa, tentang jurusan yang diinginkan. Tetapi meski demikian, menurut guru biologi ini, sebagai seorang guru wajib memberi arahan kepada siswa, agar jurusan di perguruan tinggi yang dipilih sesuai dengan latar belakang jurusan ketika di SMA. “Misalnya, ada siswa yang berminat masuk di Fakultas Ekonomi, sementara waktu di SMA jurusannya IPA. Kalau ini kita biarkan atau dipaksakan, sangat mungkin siswa tadi akan banyak hambatan dalam menerima materi. Bukan karena tidak pintar, tetapi karena memang tidak sesuai dengan latar belakang jurusannya ketika di SMA, akhirnya banyak hambatan yang dihadapi saat di perguruan tinggi,” tegas Adi ketika dijumpai di kediamanya di Tanjung Enim pekan lalu.
Mengarahkan siswa agar masuk ke perguruan tinggi sesuai dengan latar belakang jurusan, bukan hal yang mudah. Menurut pengakuan Adi, ada saja diantara siswa yang berminat di Fakultas lain yang sama sekali tidak sesuai dengan jurusannya saat di bangku SMA. Belum lagi, siswa yang bersangkutan sering berhadapan dengan kehendak orang tua yang berseberangan dengan pengarahan dari pihak sekolah.
“Tetapi, apapun pilihan siswa, kami sebagai pendidik tetap mempunyai tanggungjawab untuk tetap memberi pengarahan, sehingga di kemudian hari, kalau terjadi sesuatu, mereka tidak akan menyalahkan pihak sekolah. Sebab, ya itu tadi. Sekolah sudah memberikan pertimbangan,” katanya (Laporan : Romi Maradona dan Sulis)
Sirozi : Jangan Silau Dengan Perguruan Tinggi Bergengsi”
Oleh Romi Maradona dan Sulis
Persaingan dalam memilih Perguruan Tinggi kini sedang menjadi trend di kalangan anak-anak sekolah, terutama bagi siswa kelas tiga SMA yang baru selesai menempuh Ujian Nasional (UN) tahun 2009. Tidak sedikit sebagian mereka melakukan uji kemampuan dengan cara mengikuti berbagai try out. Tujuannya untuk membekali diri, dengan harapan dapat mencapai kesuksesan maksimal, sehingga mereka dapat melenggang di kampung sarjana, baik di dalam maupun di luar negeri.
Sejak digelarnya UN, berbagai perguruan tinggi baik swasta maupun negeri, telah mulai mempromosikan diri melalui media, dengan segala kelebihannya. Hampir tidak ada perguruan tinggi yang menyebutkan kelemahannya. Bermacam kalimat dan slogan dibuat untuk menambah daya tarik calon mahasiswa. Program unggulan pun menjadi andalan promosi Perguran Tinggi. Pamlet, brosur dan masih banyak kertas full colour lain berisi iklan Perguruan Tinggi bergengsi dengan berbagai tarif SPP dan fasilitas lainnya.
Bukan hal yang mudah dalam menentukan pilihan Perguruan Tinggi, apalagi dengan banyaknya alternative pilihan seperti sekarang. Oleh sebab itu, banyak siswa yang telah mengumpulkan informasi terkait dengan beberapa Perguruan Tinggi yang akan menjadi tempat mereka melanjutkan pendidikan. Seperti halnya Iwan, salah seorang siswa SMA di Palembang yang hingga kini mengaku telah mengantongi berbagai informasi penting mengenai perguruan tinggi di Indonesia.
Senada dengan Iwan, Sri Sumantri, siswi SMA di Tanjung Agung Muara Enim mengaku dirinya sampai saat ini masih bingung menentukan pilihan, sebab antara keinginannya sebagai mahasiswa terbentur dengan kemapuan ekonomi keluarga. “Gimana ya, maunya mau ingin masuk ke perguruan tinggi yang bergengsi, tetapi ya itu tadi, kemampuan orang tua sangat terbatas,” tutur Sri kepada Prestasi gemilang, saat dijumpai di rumahnya di Tanjung Agung Muara Enim.
Junaidi Padil, S.Ag, salah satu staf pengajar SMK Bukit Asam Tanjung Enim, mengatakan banyak siswa yang masih bingung memilih perguruan tinggi. “Namun saat ada beberapa siswa yang bertanya, saya hanya menyarankan kepada mereka untuk tetap melihat potensi diri dan prestasi akademis mereka, hal ini akan bermanfaat untuk memilih program studi yang akan mereka ambil. Sebisa mungkin saya meyakinkan mereka untuk melanjutkan sesuai program yang telah terbekali dari SMK, apapun jurusan yang mereka pilih,” tegasnya.
Di tengah banyaknya pilihan Perguruan Tinggi seperti sekarang, Prof. Dr. Sirozi, P.hd, Pembantu Rektor I Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Raden Fatah Palembang mengatakan, dalam memilih Perguraun Tinggi memerlukan kejelian, terutama mengenai program studi yang akan diambil. “Dalam menentukan pilihan Perguruan Tinggi, harus mempertimbangkan kualitasnya, baik dari segi akreditasi, prestasi, tenaga pengajar sampai pada biaya yang harus dikeluarkan untuk bisa masuk di Perguruan Tinggi tersebut,” tegasnya.
Memasuki dunia Perguruan Tinggi menurut mantan Direktur Pasca Sarjana IAIN Raden Fatah Palembang ini, berarti melibatkan diri dalam situasi hidup dan situasi akademis yang secara mendasar berbeda jauh dengan apa yang pernah dialami dalam lingkungan Sekolah Menengah Atas (SMA). Perguruan Tinggi bukanlah sekedar lanjutan dari SMA, namun pada kenyataannya memiliki jenjang yang lebih tinggi dan merupakan suatu yang hakiki dari taraf pendidikan yang lebih tinggi.
Berbagai upaya telah ditempuh oleh sebagian alumni Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan SMA, baik kursus, pembedahan kisi-kisi SPMB, privat, sampai try out akbar. Semua itu dilakukan guna mempersiapkan ujian masuk Perguruan Tinggi. Tidak sedikit Perguruan Tinggi yang mengajukan berbagai persyaratan bagi calon mahasiswa baru.
Inilah gambaran kecil yang ditempuh oleh para siswa untuk mengetahui informasi dan masukan-masukan dari para pendidiknya. Diharapkan, melalui cara ini para guru dapat menambah informasi terhadap siswa tentang program perguruan tinggi. Dengan begitu siswa akan mulai mencerna dan mempertimbangkan ke mana arah pendidikan lanjutan yang seharusnya mereka inginkan.
Alumnus S.2 University of London ini mengatakan agar siswa jangan terlalu silau terhadap pendidikan luar negeri. Siswa harus mampu melihat dengan jeli mana yang terbaik sesuai dengan kemampuan akademis siswa. “Memang di luar negeri terutama pada negara-negara maju memiliki kelebihan tersendiri, misalkan dari segi tenaga pengajarnya yang minimal S.3, namun kita harus bisa memilih program studi yang akan kita tempuh sesuai dengan prestasi kita, terutama dari segi bahasa dan akademik. Jika memang di Palembang ada yang lebih baik mengapa tidak memilih lokasi yang dekat saja. Untuk menentukan perguruan tinggi itu, siswa harus melihat akreditasi program studi, bagaimana kualitasnya, dan masih banyak pertimbangan lain termasuk biaya yang harus dikeluarkan,” tambahnya.
Menurut Sirozi, jika siswa memiliki prestasi yang bagus, mereka berkesempatan untuk mendapatkan beasiswa, baik dari dalam maupun luar negeri. Namun ini juga membutuhkan kerja keras yang lebih. Karena siswa harus bersaing ketat dengan peserta lain. Ada beberapa strategi untuk meraih beasiswa terutama luar negeri yaitu hampir semua beasiswa luar negeri menargetkan tofle min 550, dan Indkes Prestasi (IPK) minimal 3.00. “Jika siswa memiliki pengalaman organisasi maka cantumkan, siapkan statement of purpose, pelajari kampus beasiswa yang anda tuju termasuk menghubungi dosen, profesor serta alumni yang pernah tinggal di Negara atau kota tersebut, buat curriculum viate (CV) yang sistematis dan tidak bertele-tele,” tambahnya.
Sementara itu, Herizal, salah satu alumnus Canbera University, Australia mengatakan, untuk mendapat infromasi tentang Perguruan Tinggi ini, sebagian siswa siswa mengakses internet. Melalui media ini, informasi mengenai Perguruan Tinggi dalam maupun luar negeri tersedia dengan lengkap, menarik, dan cepat untuk di dapat. Ada juga yang memberikan pelayanan on line seperti pada universitas terkemuka seperti Universitas Indonesia (UI) Jakarta dan Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta misalnya. Dengan akses internet ini siswa bisa lebih puas melihat berbagai fasilitas dan biaya kuliah yang ditawarkan.
Lebih lanjut Kepala Unit Bahasa (UBINSA) di IAIN Raden Fatah Palembang ini mengatakan, tidak menutup kemungkinan banyak siswa yang berminat untuk melanjutkan kuliah ke luar negeri, ketika mereka tergiur dengan fasilitas yang bagus yang dimiliki oleh negara-negara maju sesuai dengan peringkat yang mereka capai pada kategori universitas terbaik dunia.
“Mereka bisa saja memilih melanjutkan ke luar negeri karena mereka merasa memiliki prestasi akademis yang bagus, dan biaya yang mencukupi, atau bahkan mungkin mereka ingin mengubah suasana, yang tadinya beberapa tahun sekolah di Palembang atau Indonesia, mereka ingin melihat budaya baru dengan suasana yang baru, hal ini bisa saja terjadi sesuai dengan individu siswa” ujar Herizal, ketika ditemui di ruangannya pekan lalu.
Jika dibandingkan di luar negeri, lanjut Herizal, seperti di United State, atau di Canada misalnya mereka memiliki fasilitas yang sangat lengkap, sesuai dengan biaya yang harus dikeluarkan oleh mahasiswanya, seperti kedisiplinan yang timggi, gedung yang bersih sejuk yang dikelilingi oleh taman hijau, perpustakaan 24 jam, internet dan fhotocopy gratis, dan masih banyak fasilitas lain yang memang benar-benar berbeda jauh dengan negara kita. Namun lagi-lagi semua kembali kepada pertimbangan masing-masing individu. Karena biasanya biaya untuk mahasiswa asing akan dikenakan biaya berapa kali lipat lebih besar daripada mahasiswa lokal. (*)
‘GELAR’, GENGSI ATAU PRESTASI?
Selain jurusan, ada beberapa pertimbangan lain bagi kalian yang ingin menjadi mahasiswa. Dari sekarang, kalian penting untuk menentukan program apa yang akan kalian pilih di perguraun tinggi. Ini mejadi penting, supaya ketika nanti kalian kuliah tidak akan benturan antara niat awal dengan target akhir di perguruan tinggi. Nah, untuk menentukan program apa yang akan dipilih, penting juga menentukan akan berapa lama kalian ingin menghabiskan waktu di bangku kuliah? Dua tahun? Tiga tahun? Secepatnya? Berapa cepat? Tapi, jangan jadi (Mahasiswa Paling Lama—alias MAPALA), kasihan orang tua yang sudah banyak mengeluarkan banyak biaya. Syukur-syukur kalian bisa mengejar target bieasiswa. Tetapi kalau kalian akan bergabung di Mahasiswa Pencita Alam (MAPALA), tidak apa-apa, untuk menyalurkan bakat dan minat di kampus, tidak mesti menjadi mahasiswa paling ama tadi).
Cepat dan tidaknya dalam menyelesaikan studi di perguruan tinggi, selain ditentukan oleh kemampuan kalian, hal ini juga tergantung dari jalur atau jenjang pendidikan yang akan kalian ambil. Perlu kalian ketahui, Pendidikan tinggi di Indonesia mengenal dua jalur pendidikan, yaitu jalur akademik (jenjang sarjana) dan jalur profesional (jenjang diploma). Jalur akademik menekankan pada penguasaan ilmu pengetahuan, sedangkan jalur profesional menekankan pada penerapan keahlian tertentu.
Dalam kaitannya dengan waktu, jenjang sarjana membutuhkan waktu lebih lama (minimal 8 semester) dibandingkan dengan jenjang diploma (2 semester untuk D1 - 6 semester untuk D3). Hal ini tentu sangat berpengaruh pada biaya yang harus kalian sediakan. Banyak diantara teman-teman kalian, yang karena keterbatasannya, lebih memilih jenjang diploma, dengan harapan cepat lulus dan mendapat pekerjaan.
Perlu kalian tahu, jenjang diploma dirancang sebagai jenjang terminal. Artinya, lulusannya dipersiapkan untuk langsung memasuki dunia kerja, bukan untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi (walaupun sekarang ada yang disebut program lintas jalur, dari diploma ke sarjana). Ini berbeda dengan jenjang sarjana, yang membuka kesempatan lulusannya untuk terus mengembangkan ilmunya.
Hal lain yang harus kalian perhatikan adalah, tingkat persaingan di pasar kerja. Kalau banyak tenaga sarjana yang tersedia, perusahaan akan lebih memrioritaskannya dibandingkan lulusan diploma. Tetapi, ingat lho, sekarang ketentuan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dan Undang-Undang Dosen dan Guru, mengharuskan gelar S.1 dalam jenjang tertentu, apalagi kenaikan pangkat bagi sebagian PNS. Bahkan di beberapa perusahaan Swasta, gelar S.1 juga menjadi nilai tawar yang mesti kalian perhitungkan, apalagi untuk menaikkan jenjang karier. Makanya, untuk yang satu ini kalian juga perlu mempertimbangkan. Apalagi kalau kalian ingin meneruskan sampai jenjang S-2, jelas harus selesai dulu S-1. Sebab, kalau kalian ingin menjadi Dosen di PTN dan PTS, sekarang harus sudah selesai di jenjang S-2. Sementara S-1 hanya boleh mengajar di tingkat SMA, ini menurut Undang-Undang, lho.
Gelar dan Sebutan
Sesudah kalian lulus, selain kalian akan mendapat ijazah, kalian akan diperbolehkan oleh PTN dan PTN menyandang gelar akademis atau sebutan profesional. Misalnya, Sarjana Hukum (SH), Sarjana Ekonomi (SE), Sarjana Hukum (SH), Sarjana Agama, (S.Ag), Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I) dan gelar lainnya. Gelar akademis ini diberikan kepada kalian yang sudah menyelesaikan pendidikan melalui jalur akademik (jenjang sarjana, bukan diploma).
Lalu bagaimana kalau kalian menyelesaikan pendidikan jalur profesional (jenjang diploma)? Bukan gelar akademis (Sarjana, misalnya)? Yang kita dapatkan, bukan gelar sarjana, (SH, SE dan lainnya), melainkan sebutan profesional seperti Ahli Madya Komputer (AMd.Komp). Sebutan ini mungkin belum terlalu dikenal di masyarakat. Dan seringkali gelar Ahli Madya ini kadang-kadang dianggap sebagian masyarakat kurang bergengsi. Makanya, di antara teman-teman kita yang hanya menyelesaikan Diploma, lebih menyukai digelari dengan istilah D3-Komputer, D-3 Sekretaris dan lainnya.
Gengsi atau Prestasi
Kalau kalian sudah menyandag gelar, masyarakat akan menilai kalian sebagai orang yang intelek. Makanya gelar sarjana itu bukan sekedar gengsi tetapi juga harus diikuti dengan prestasi, bukan saja akademik tetapi juga mentalitas, cara pandang, pola piker dan pola kerja. Sebab banyak, lho, teman-teman kita yang sarjana tetapi pola pikirnya tidak akademis. Mislanya dalam setiap rapat di organisasi ingin menang sendiri. Atau mengatakan “saya ini sarjana, lho.” Jadi kesarjanaan bukan sebatas gelar di belakang atau di depan nama, tetapi juga ditutut bertanggungjawab terhadap isi otak dan praktik sehari-ari dalam kehidupan. Kalian boleh banga dengan gelar sarjana, tetapi juga harus malu, bila ternyata gelar kita belum sesuai dengan kesarjaan yang kita sandang. Makanya menjadi sarjana itu, dikatakan berat ya berat, dikatakan ringan ya tidak juga. Semua membutuhkan pertanggungjawaban di tengah masyarakat.(*)
KAMPUS, ADA HARGA ADA RUPA
Memilih perguruan tinggi bagi siswa dan sebagian orang tua siswa acapkali menjadi tarik ulur, terutama antara dua pilihan Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan Perguraun Tinggi Swasta (PTS). Bila berkiblat di kota-kota besar (Jakarta, Bandung, Surabaya dan Yogyakarta), biaya PTS selalu lebih tinggi dibanding dengan PTN. Tetapi, dari sisi gengsi, PTS sering menjadi sandaran, kecuali PTS yang sedang berkembang, tidak masuk dalam kelompok ini. Namun demikian, sekali lagi di kota-kota besar, PTN sebenarnya juga tidak kalah bergengsi dengan PTS. Ada beberapa PTN yang namanya sudah terkenal, Sebut saja Universitas Gajah Mada (UGM), Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (IPB), Institut Pertanian Bogor (IPB) dan lainnya.
Dari tahun ke tahun, tidak sedikit siswa dan para orang tua siswa yang ‘bermimpi’ agar anaknya dapat menjadi mahasiswa PTN itu. Bukan karena gengsinya saja, tetapi secara kualitas sarjana dan fisiknya memang sudah diperhitungkan banyak orang. Belum lagi peluang kerja. Alumnus PTN yang disebutkan diatas, memang sudah cukup bersaing. Bahkan sebagian alumninya juga tersebar di jajaran pemerintahan, sejak legislatif, eksekutif maupun yudikatif, atau di kalangan swasta.
Namun, untuk masuk ke PTN juga tidak semudah membalik telapak tangan. Sebab setiap calon mahasiswa harus bersaing dengan jutaan calon mahasiswa se-Indonesia, untuk mempertaruhkan diri menjadi mahasiswa di PTN melalui Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN). Kalau tidak lulus UMPTN, lalu memilih PTS, yang kebanyakan biayanya memang lebih mahal. Meski demikian, ada beberapa PTS yang tetap memberlakukan biaya murah. Tetapi biasanya PTS yang biayanya murah lihat saja sarana dan pra-sarananya. Belum lagi kualitas dosen dan sarjananya. Sebab ada lho, Perguruan Tinggi, yang hanya untuk menjadi ‘jembatan’ mencari gelar, bukan untuk menggali ilmu. Nah, Perguruan Tinggi yang satu ini, biasanya memakai sistem “Maju Tak Gentar Membela yang Bayar,” alias selama bayaran lancar, diakhir perkuliahan akan segera mendapat gelar. Makanya, ada istilah dalam jual beli, Ada harga ada rupa. Bagi kalian yang masih bingung menentukan pilihan, dibawah ini ada beberapa tips yang dapat menjadi pijakan, bagaimana kalian memiilih Perguruan Tinggi.
Pertama, Minat. Artinya, Faktor utama yang harus kamu ketahui adalah minat kalian sendiri. Kalau kalian sudah mengetahui minat kalian terhadap tujuan program studi yang akan dipilih, studi kalian akan semakin mudah dalam memilih Perguruan Tinggi. “Dan yang lebih penting kalian akan mudah dan terpacu untuk menyelesaikan studi saat kalian kuliah, sebab sesuai dengan minat kalian”
Kedua, Biaya. Seringkali Perguruan Tinggi, yang kita inginkan tidak sesuai dengan keadaan keuangan orang tua kita. Kuliah di Perguruan Tinggi memang banyak biaya yang sering diluar perhitungan orang tua. Dari uang SPP sampai uang non akademis. Makanya, kalian harus hitung biaya dalam setiap bulan, kira-kira biaya apa saja yang prioritas dan biaya yang ‘sunnah’ (tidaak wajib) tetapi penting, sekaligus menghitung kemungkinan biaya diluar akademis, tetapi tidak termasuk biaya ngampel dan nonton bersama ke pacar, lho.
Ketiga, Prospek. Saat ini sangat banyak program studi yang ditawarkan baik oleh PTN
maupun PTS, tentu tidak semuanya menjanjikan prospek pekerjaan yang cerah di masa mendatang. Pertanyaanya adalah, manakah yang akan kalian pilih? Program studi yang selalu menjadi favorit, tetapi pada akhirnya banyak lulusannya yang menganggur ataukah program studi yang tidak termasuk kategori favorit, tetapi begitu lulus langsung dapat kerja (biasanya karena lulusannya yang langka, sedangkan dunia kerja masih sangat terbuka?)
Keempat, Reputasi. Apakah kalian akan memilih Perguruan Tinggi karena perguruan tinggi tersebut terkenal saja? Wa, itu salah! Ada beberapa faktor yang harus kalian pertimbangkan jika kalian ingin memilih Perguruan Tinggi tersebut. Misalkan bagaimana fasilitas belajar mengajarnya, kualitas lulusannya, dan bagaimana reputasi Perguruan Tinggi tersebut di kalangan pendidik. Sehingga saat kalian tamat dari situ, kalian akan menjadi sarjana yang punya posisi tawar, alias tidak mudah diremehkan orang, karena orang sangat mengetahui reputasi Perguruan Tinggi tempat kalian kuliah.
Kelima, Status Akreditasi. Kalau tahun sebelumnya, kalian kenal dengan status disamakan, diakui ataupun terdaftar. Sekarang ini ada yang dinamakan dengan status akreditasi. Status inilah yang saat ini menjadi salah satu faktor utama yang digunakan oleh PTS untuk mengiklankan dirinya. Ini menjadi penting supaya kalian tidak salah memilih di Perguruan Tinggi yang punya status terancam, hanya karena status Yayasannya belum sesuai dengan undang yang baru, sehingga ijazahnya tidak bisa diakui secara legal untuk melamar kerja atau kenaikan pangkat atau jabatan.
Keenam, Fasilitas. Hati-hatilah dengan tampilan fisik. Imbauan ini tidak hanya berlaku kalau kalian memilih teman, tetapi berlaku juga jika kalian akan memilih suatu Perguruan Tinggi. Gedung megah dan ber-AC saja tidak cukup untuk menjamin berlangsungnya proses belajar mengajar yang baik. Fasilitas utama yang harus diketahui kalian dalam suatu Perguruan Tinggi adalah seberapa baik dan bagusnya fasilitas, seperti laboratorium (komputer, akuntansi, bahasa, dan lain-lain), studio dan perpustakaan yang dimiliki. (*)
Mengapa Swasta
LEBIH MAHAL
Mengapa Perguruan Tinggi Swasta (PTS) selalu lebih mahal? Ini pertanyaan klasik yang mungkin masih terbersit di benak kalian, atau di sebagian para orang tua. Bagaimana tidak mahal, sebab di PTS biaya operasional kampus mayoritas dibebankan pada mahasiswa. Makanya, berkembang dan tidaknya PTS, paling mudah dilihat dari jumlah mahasiswanya yang (selalu) bertambah. Ini sangat penting bagi PTS, karena mahasiswa adalah sumber utama (seringkali satu-satunya) pendapatan PTS. Dari merekalah PTS mencukupi kebutuhannya untuk membiayai operasional pendidikan, membangun gedung, menambah fasilitas pendidikan, termasuk membayar gaji dosen dan karyawannya. Oleh karena itulah ada kecenderungan PTS untuk menggali sebanyak mungkin potensi ini, baik secara kualitas (memperbesar uang gedung dan uang kuliah) maupun kuantitas (menerima sebanyak mungkin mahasiswa).
Pada sisi lain, bertambahnya mahasiswa menuntut ditambahnya jumlah dosen. Bukan hal yang mudah mendapatkan dosen dengan jumlah yang memadai, apalagi yang memenuhi kualitas dosen yang dibutuhkan. Padahal Undang-Undang Pendidikan Tinggi mensyaratkan tercapainya nisbah (rasio) antara dosen tetap dan mahasiswa sebesar 1:30 untuk bidang studi IPS dan 1:25 untuk bidang studi IPA. Mungkin faktor dosen ini merupakan salah satu faktor paling sulit bagi suatu PTS, dan karenanya sering diabaikan atau direkayasa.
Pengabaian secara kuantitatif dilakukan dengan membebani dosen yang terbatas jumlahnya dengan beban mengajar yang besar, sehingga waktu dan tenaga dosen-dosen tersebut betul-betul tersita untuk itu. Seringkali hal ini dilakukan dengan mengabaikan aspek kualitas pengajarannya. Hampir tidak tersisa lagi waktu untuk melakukan penelitian atau pengabdian masyarakat yang merupakan pilar-pilar Tri Dharma Perguruan Tinggi.
Bisa juga suatu PTS memenuhi aspek kuantitas dosen tetap ini, tetapi dengan mengkompromikan kualitasnya. Misalnya dosen yang mengajar tidak sesuai dengan bidang ilmunya, tidak terpenuhinya kepangkatan akademik dalam pengajaran atau bimbingan tugas akhir, dan lain sebagainya. Rekayasa positif terjadi dengan penggunaan dosen-dosen tidak tetap. Biasanya dosen tidak tetap ini memenuhi persyaratan kelayakan mengajar, seperti latar belakang pendidikan, gelar dan kepangkatan akademis dan profesionalismenya. Masalahnya, dosen-dosen ini hanya menyediakan waktu yang terbatas kepada mahasiswa sesuai dengan status tidak tetapnya. Bagi PTS, mereka tidak bisa disertakan dalam penghitungan nisbah dosen tetap dan mahasiswa sehingga tidak berpengaruh dalam penentuan status akreditasi.
Yang paling memprihatinkan adalah jika terjadi rekayasa negatif. Dalam hal ini PTS berusaha dengan segala macam cara untuk memenuhi nisbah tersebut. Misalnya PTS masih mencantumkan nama dosen yang sudah tidak lagi menjadi dosen tetap di sana, atau nama seseorang tercantum sebagai dosen tetap di lebih dari satu PTS. Contoh lain adalah dengan cara meminjam nama. Seseorang yang memenuhi kualifikasi akademis “diangkat” sebagai dosen tetap dengan mendaftarkannya secara resmi ke instansi yang berwenang. Artinya, secara administratif seluruh persyaratan sudah dipenuhi dan “dosen” tersebut juga menerima gaji dari PTS. Tetapi, keterlibatannya dalam kegiatan akademik hampir atau memang tidak ada sama sekali.(*)
BERBURU PERGURUAN TINGGI
Label:
LAPUT (Juli 2009)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Comments :
Posting Komentar