“SMA FOKUS PADA PROGRAM AKADEMIK”

Laporan : Sulis Jurnalis

Kian hari pengangguran kian memadati bumi pertiwi. Daalm setiap tahunnya, ribuan jebolan alumni perguruan tinggi mulai berpikir untuk mengais rejeki dengan memanfaatkan ilmunya. Namun masih saja berhamburan alumni S1 bahkan S2 sekalipun, tetap menjadi pengangguran (tunakarya) di negeri ini. Bila sarjana banyak yang menganggur, lalu bagaimana dengan alumni Sekolah Menengah Atas (SMA) dan SMK?.
Tebiarnya alumnus SMA dan SMK yang tidak punya pekerjaan, tetap saja akan menambahh barisan panjang deretan pengangguran intelektual di Sumatera Selatan. Belum lagi, beberapa perusahaan membutuhkan alumni yang siap kerja, mampu mengoperasikan peralatan kantor, peralatan produksi, teknologi, mesin, otomotif, dan mampu memerankan diri dalam pekerjaan di bidang lain yang telah tersedia di perusahaan. Semuanya menuntut calon tenaga kerja untuk memiliki life skills (keterampilan hidup).
Didasari itu, Mendiknas Prof Bambang Sudibyo, memunculnya kebijakan pendidikan menengah diarahkan pada meningkatnya proporsi SMK dibanding SMA. Kebijakan ini kemudian mengundang berbagai kontroversi. Secara tidak langsung kebijakan yang telah diungkapkan Bambang ini masih terlalu sulit untuk diwujudkan. Doni Koesoema, salah satu aktifis blogger pendidikan menyebutkan, sebuah keyakinan keliru bahwa Indonesia akan dapat bersaing di dunia global jika dapat mengubah SMA menjadi SMK. Mengubah proporsi SMA menjadi SMK hanya akan memosisikan daya-daya manusiawi Indonesia pada posisi paling bawah dalam dunia industri global. Sedangkan untuk mampu bersaing, yang dibutuhkan adalah akses setiap siswa pada pendidikan tinggi dan akademi teknik, politeknik yang murah dan terjangkau.
Hubungan antara keterampilan yang diperoleh melalui SMK, menurut Doni, terpenuhinya kebutuhan kerja yang diandaikan begitu saja merupakan sebuah kebijakan yang keluar dengan tidak mendasarkan diri pada kenyataan lapangan. “Terserapnya tenaga kerja itu tergantung pada ketersediaan kesempatan kerja. Dan yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah adalah menciptakan lapangan kerja, dan bukan mengubah SMA menjadi SMK,” Doni setengah protes.
Sementara, Untung Gutmir, MM, Kepala Sekolah MAN 2 Palembang menyebutkan, dirinya setuju dengan kebijakan tersebut, mengingat saat ini setiap sekolah menengah atas merupakan sebuah taraf belajar yang seharusnya telah dibekali keahlian tertentu. Gagasan Mendiknas ini, untuk mengantisipasi kondisi siswa setelah lulus SMA atau SMK, agar mereka tidak menganggur. Dengan adanya bekal keterampilan (life skill) diharapkan mereka akan mampu bekerja, maupun melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi bagi yang memiliki biaya. Namun bagi yang tidak mampu bisa memanfaatkan keahliannya yang didapat dari SMK atau SMA, untuk memenuhi kebutuhannya,” jelas Gutmir kepada Sulis dari PRESTASI gemilang pekan silam.
“Untuk mampu bersaing dengan sekolah lain, dan membekali siswa akan keterampilan maka MAN 2 Palembang memberikan pelatihan Paskibra dan meng-efektifkan pembelajaran mengenai Bahasa Arab dan Inggris. Kami melakukan ini untuk memberikan keterampilan bahasa bagi setiap siswa, agar kelak bisa dimanfaatkan,” lanjutnya. Sedangkan untuk menambah keterampilan berupa life skill terasa masih jauh dari perencanaan. Sesuai dengan data alumni yang telah diserahkan, 50% lebih alumni MAN 2 Palembang melanjutkan di perguruan tinggi, baik swasta maupun negeri yang ada di Indonesia. Sedangkan yang mencoba bekerja dan berhasil hanya mencapai 30% dan sisanya belum diketahui kejelasannya.
Sejalan dengan pendapat diatas Darmi Hartati, MM, Kepala Sekolah SMA Negeri 6 Palembang justru menganggap kebijakan tersebut tidak terlalu berpengaruh pada program yang dilaksanakan di sekolahnya (SMA). “Bagi kami, kebijakan tersebut sama sekali tidak berpengaruh, apalagi untuk memberikan keterampilan atau life skill. Itu kan bukan porsi SMA, sedangkan sekarang kami tetap akan mengefektifkan pembelajaran untuk akademi dan memberikan pembekalan imtaq yang kuat, mengingat alumni harus memiliki kemampuan intelektualitas tinggi dengan pengetahuan agama yang bagus sehingga bisa diterima di perguruan tinggi yang berkualitas. Jadi kami harus mempersiapkan itu,” tegasnya.
“Seorang yang bagus dalam kualitas imtaqnya tentu mereka berprestasi dan itu telah terbukti di SMA 6 ini. Namun mengenai keterampilan atau life skills itu kami masukkan pada mata pelajaran muatan lokal (mulok), yang berisi tentang keterampilan memasak khas palembang dan seni menyulam. Untuk keterampilan yang berbentuk life skill itu tidak ada si SMA ini, mengingat itu memang bukan porsi kami,” ujarnya.
Lain halnya dengan Winda, salah satu alumni tahun 2006 SMKN 6 Palembang lebih memilih untuk menyalurkan keterampilan yang telah didapatnya dari sekolah. “Sejak mulai sekolah di SMK 6, saya sudah memiliki rencana untuk mengembangkan usaha salon, kebetulan Ibu saya memiliki keterampilan tersebut. Akhirnya saya memilih jurusan keahlian tata kecantikan rambut. Setelah saya lulus, berbagai keterampilan mengenai pemotongan dan tatarias rambut akan saya terapkan dalam usaha saya nanti,” ungkap gadis berpostur tinggi ini.
Di tengah pro dan kontra kebijakan Mendiknas itu, ada juga sekolah setingkat SMA yang mencoba menggabungkan ketiga konsep tersebut. Seperti halnya MAN 3 Palembang, yang telah mencoba untuk memberikan pembekalan ilmu agama, ilmu umum dan keterampilan yang berupa elektro dan menjahit. “Untuk menjadikan Madrasah ini sebagai lembaga pendidikan yang terbaik dan unggul, sangat disadari bukanlah pekerjaan mudah, tetapi kita tidak memiliki pilihan lain, MAN 3 Palembang harus tampil berkualitas, mampu memenuhi tuntutan masyarakat yang dinamis dan mampu menyejajarkan diri dengan sekolah-sekolah lain yang telah lebih dahulu eksis menjadi pilihan utama masyarakat,” ujar Zainuri, Kepala Sekolah MAN 3 Palembang (*)

Comments :

0 komentar to ““SMA FOKUS PADA PROGRAM AKADEMIK””