A. Madjid,M
Guru Kaligrafi Indonesia di Sumsel
Harga Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) saat ini seolah sedang melambung. Tak beda jauh dengan harga sembako, yang kian hari juga terus membumbng tinggi, seiring dengan janji-janji elit politik yang akan menaikan gaji pegawai di semua bagian dan eselon. Maraknya perbincangan SMK ini, tidak lepas dari gagasan Mendiknas yang pada 2015 ditargetkan menjadi 70%. Sementara SMA hanya 30%. Katanya, gagasan ini untuk mengurangi jumlah pengangguran.
Saya setuju dengan gagasan itu. Sebab, dengan makin banyaknya jumlah SMK minimal dapat menambah Sumber Daya Manusia (SDM) terampil yang siap masuk dalam dunia kerja. Ini menjadi penting, sebab dalam catatan saya banyaknya perguruan tinggi juga tidak kemudian mengurangi jumlah pengangguran. Malah sebaliknya, ada tuduhan, perguruan tinggi juga turut andil dalam menyumbang jumlah pengangguran. Tidak sedikit diantara sarjana yang menganggur dan kalah oleh alumnus SMK, meskipun mereka hanya menjadi buruh bangunan. Tetapi dalam bidang tertentu, alumnus SMK lebih siap dari pada alumnus perguruan tinggi. Bahkan, alumnus perguruan tinggi tidak jarang harus menjadi ‘tenaga administratif’ di sebuah pesantren yang dipimpin oleh seorang modin tamatan Aliyah, setingkat SMA.
Mengapa saya berani mengatakan itu? Sekarang kita buat persentase, berapa banyak almunus perguruan tinggi yang kemudian mendirikan lembaga pendidikan setingkat taman kanak-Kanak (TK), dengan alumnus pesantren yang juga sanggup mendirikan pesantren? 60% alumnus pesantren menyebar ke berbagai daerah di Indonesia dan membentuk pengajian kecil, yang secara bertahab menjelma menjadi pondok pesantren. Lantas berapa banyak alumnus perguruan tinggi yang mampu melahirkan lembaga pendidikan TK, kursus dan lain sebagainya setelah selesai menjadi sarjana? Apalagi perguruan tinggi?
Sepertinya, konsep pesantren dengan segala disiplin ilmu dan ketatnya aturan di dalamnya, paling tidak dapat menjadi inspirasi bagi keberlanjutan gagasan Mendiknas ini. Maksud saya, tidak mesti SMK menjadi pesantren, tetapi penerapan disiplin versi pesantren bisa menjadi acuan dasar bagaimana menanamkan mentalitas membangun, sistem (lembaga) sendiri diluar sekolah kepada peserta didik, bukan malah menjadi mengantarkan peserta didik menjadi ‘peminta bangunan’ tanpa ada keinginan untuk mendirikan bangunan sendiri setelah mereka tamat.
Perlunya belajar dari pesantren ini, bukan pada sisi fisik dan sistemnya saja, tetapi jauh lebih penting lagi adalah bagaimana menanamkan rasa malu ketika berbuat tidak baik di luar sekolah. Dalam tradisi pesantren, sudah terbiasa bila kemudian ada santri yang mengatakan ; saya malu melakukan seperti itu, sebab saya muridnya kiai si A. Jadi saya tidak pantas melakukan perbuatan itu. Atau saya malu kalau tidak bisa mengaji, sebab saya muridnya kiai si B.
Dalam pendidikan luar pesantren hampir tidak pernah dijumpai kalimat serupa, misalnya; saya malu berbuat seperti itu, karena saya alumni perguruan A, atau saya malu kalau tidak bisa mendirikan sekolah, sebab saya adalah murid dari rektor B. Pernahkah kita mendengar alumnus perguruan tinggi atau sekolah umum yang mengatakan itu? Kalaupun ada, hanya ada 1:1000 (satu banding seribu). Sepintas, ini terkesan ketakutan fisik pada kiai. Tetapi dengan kesadaran itu, menjadi satu pertanggungjawaban moral murid, bukan terhadap kiai dan lembaga tempat dia menimba ilmu saja, tetapi juga bertanggungjawab atas dirinya sendiri untuk berdikari sebagaimana yang diajarkan oleh kiai di pesantren.
Dorongan untuk memunculkan kesadaran itu, tentu harus dimulai dari setiap si pendidik (guru, ustadz dan dosen). Selama ini, peserta didik di sekolah dan di kampus, disibukkan oleh urusan akademik, persaingan nilai, IPK dan lain sebagainya. Belum lagi, materi di lembaga pendidikan juga cenderung mengarahkan peserta didik untuk menjadi pekerja setelah tamat sekolah atau kuliah, bukan menjadi pembuka lapangan pekerjaan. Hanya ada satu atau dua orang tenaga didik yang kemudian membangkitkan kesadaran pada peserta didik, bagaimana setelah tamat si peserta didik dapat berdiri dengan gagah, dan menepuk dadanya sendiri lalu berkata; inilah saya, bukan berbalik; inilah bapak saya!, membanggakan kebesaran nenek moyangnya.
Mengiringi gagasan Mendiknas itu, sepertinya memang perlu adanya pembentukan sistem baru, dalam arti tidak bisa seorang peserta didik sebatas mendorong di dalam sekolah, tanpa menciptakan sistem yang ‘memaksa’ murid untuk melakukan latihan secara rutin demi penguasaan bidang tertentu. Tidak bisa seorang pendidik sekedar memerintahkan murid untuk belajar mengarang, sementara murid dibiarkan liar tanpa ada sistem yang mengatur, kapan karangan dikumpul, kapan karangan dibuat dan kemana karangan diserahkan, sampai akhirnya akan bagaimana karangan itu setelah layak jual. Banyak hal yang memang harus dipertimbangkan kembali, mengiringi gagasan Mendiknas itu, termasuk bagaimana mendorong pemerintah agar membuka lapangan kerja seluas-luasnya, sehingga kita tidak kembali di tahun 80-an, ketidaksesuaian antara jumlah alumnus sekolah pendidikan guru dengan daya serap di berbagai sekolah.
Tetapi, diluar target besar yang menjadi tujuan akhir dari gagasan Mendiknas itu; mengurangi jumlah pengangguran, saya ingin mengatakan, untuk membangkitkan mentalitas peserta didik agar siap menjadi manusia mandiri adalah, bagaimana mendorong setiap peserta didik untuk menjadi orang yang bermanfaat bagi lingkungannya, sekecil apapun. Ini sesuai dengan apa yang dikatakan nabi, rahmatan lil ‘alamiin; membawa rahmat bagi lingkungan. Praktiknya dengan kegiatan ekstra, kegiatan kampus dan lain sebagainya. Bila kesadaran ini sudah melekat, maka Insya Allah usai menamatkan sekolah, tidak akan ada lagi peserta didik yang berdiam diri di rumah, hanya sekedar main game atau nongkrong di pinggir jalan tanpa ada manfaatnya. Sebab dalam hatinya telah tetanam, tugas manusia adalah menebar manfaat sebanyak-banyaknya pada diri sendiri dan orang lain, sekecil apapun!(*)
SMK VS PESANTREN
Label:
WINAYA (Agustus 2009)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Comments :
Posting Komentar