Dalam satu kesempatan, saya satu mobil dengan Sohib (55 tahun), salah satu sopir Kepala Departemen Pemerintahan di Muaraenim. Di samping Sohib, ada Mastur (38 tahun), staf departemen yang diberi tugas untuk mengurus administrasi tertentu di Kota Lahat. Obrolan bermula dari penerimaan Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Sumsel. Salah satu saudara kandung Mastur, secara kebetulan lulus murni. Sementara salah satu tetangga Sohib gagal, meski sudah ketigakalinya mengikuti tes PNS. Bahkan jauh sebelumnya, tetangga Sohib juga selalu gagal malamar ke beberapa perusahaan ternama di Sumsel.
“Sekarang ini memang sulit, kalau mau bekerja di perusahaan, apalagi PNS. Belum lagi lapangan kerja sekarang juga makin sempit,” Mastur menimpali pembicaraan Sohib sebelumnya.
“Sebenarnya lapangan kerja itu tidak sulit, maksud saya tidak sempit, pak,” Sohib melempar kalimat yang membuat saya tertarik. Bagi saya ucapan Sohib ini menjadi unik karena dari argumentasi kebanyakan orang yang selalu mengangguk terhadap sempitnya lapangan pekerjaan. Tetapi di mata Sohib tidak demikian.
“Lapangan kerja itu tidak sempit, pak,” katanya.
“Tapi sampai sekarang masih banyak tamatan SMA nganggur,” saya memancing.
“Bukan SMA saja, pak, tapi yang sarjana juga banyak!” Mastur menambahkan.
“Karena mereka terlalu banyak memilih pekerjaan, Pak,” kata Sohib lagi.
“Terlalu memilih bagaimana?” saya penasaran.
“Kalau tujuan mereka hanya bekerja di perusahaan dan menjadi PNS ya memang sempit. Tapi kalau mau mencari jalan lain, membuak usaha, masih banyak peluang lain yang bisa mereka lakukan. Tapi karena mereka tujuannya bekerja di perusahaan dan hanya PNS, ya pasti ngomong lapangan pekerjaan sempit,” ujar Sohib setengah menyalahkan sebagian orang yang selalu mengharap bekerja di perusahaan dan PNS.
“Jadi sempitnya lapangan pekerjaan itu tergantung dari mereka, pak?” tanya saya mencari argumentasi yang lebih detil.
“Betul, pak. Coba kalau mereka mau mengembangkan diri dengan mencari peluang lain, membuka usaha, mislanya, pasti tidak ada kalimat lapangan kerja sulit dan sempit. Masalahnya mereka itu tidak tahu potensi apa yang bisa dikembangkan menjadi ladang penghidupan, makanya mereka hanya bisa menunggu lowongan pekerjaan, bukan malah mencoba menggali potensi dirinya untuk menciptakan lapangan pekerjaan sendiri,” ujar Sohib seperti pengamat sosial.
“Contohnya apa, pak?” tanya saya lagi.
“Di komplek saya, tidak ada tukang pembuang sampah. Semua warga membuang sampah sendiri. Padahal ini potensi untuk dikelola, dan bisa menghasilkan uang. Coba kalau anak-anak muda mau membuang sampah satu minggu dua kali, setiap mengambil sampah misalnya dihargai tiga ribu rupiah saja, sudah berapa uang yang mereka dapatkan dalam satu bulannya? Itu baru satu rumah?! Kalau seratus rumah, atau lebih dari itu?! Makanya saya katakan tadi, yang membuat sempit lapangan pekerjaan itu bukan pemerintah tetapi diri kita sendiri yang membatasi pekerjaan. Mereka maunya bekerja enak, duduk dan mendapat gaji besar, pilihannya selalu di perusahaan besar atau PNS! Kalau hanya itu tujuannya ya jelas sempit, pak! Mestinya cara berbipikir seperti itu yang harus dirubah,” kalimat Sohib makin mengalir tak terbendung. Dari nada bicaranya, ada getaran kekesalan terhadap mentalitas sebagian pemuda kita yang enggan membanting tulang demi masa depan tanpa harus memilih-milih pekejaan.
“Bapak sudah pernah katakan ini pada mereka?” tanya saya lagi.
“Bukan sekali dua kali, pak. Setiap mereka nongkrong di waung saya, mereka selalu saya marahi supaya otak mereka itu tebuka. Tapi mereka hanya diam. Setelah itu, besoknya masih begitu saja, tidak ada perubahan apapun dari sikap mereka,” katanya sedikit kesal.
“Apa alasan mereka tidak mau, pak?”
“Ada yang malu. Ada yang merasa gengsi!”
“Kalau sampah mungkin wajar, pak. Apalagi sebagian mereka juga ada yang sarjana, mungkin..,” saya menimpali Sohib, tetapi terputus.
“Masalah hidup, bagi saya bukan urusan gengsi atau tidak, pak. Sekarang mereka mau hidup atau tidak, mau makan atau tidak?! Perjalanan hidup itu tidak ada yang langsung jadi atasan. Bapak juga sebelumnya pasti mengalami hal sama. Dari bawah dan sampai seperti sekarang. Kalau gengsi terus ya akan tetap menunggu lamaran dan tetap saja menganggur. Anak muda sekarang memang tidak kreatif, pak! Maunya kerja enak dan gaji besar. Kalau anak raja mungkin. Tapi kalau anak gembel?! ya harus mulai dari bawah, pak!” Sohib.
“Bapak pernah ke Malioboro Yogya?” tanya saya untuk mengalihkan arah kreatifitas selain mengangkut sampah.
“Penah, Pak. Kalau bapak tanya itu, saya jadi ingat dengan kerajinan di sana. Saya lihat di Malioboro itu ada batok kelapa, dibelah jadi dua. Kemudian dipernis sampai mengkilat. Di tengahnya dikasih retsleting. Mereka buat seperti dompet untuk menyimpan uang. Ada lagi yang dibuat menjadi tas unik. Ternyata, barang tidak berguna seperti batok kelapa yang di sini dibuang-buang untuk kayu bakar, justeru di Yogya malah bisa menjadi bahan kreasi yang dapat mendatangkan uang. Yang heran, kenapa ide itu bukan muncul dari anak-anak kita?”
Bagi sebagian orang, Sohib hanyalah sosok karyawan rendahan yang tak punya jabatan kecuali sopir pribadi tuan kepala departemen. Tetapi bagi saya, Sohib adalah manusia pemilik uang ratusan juta rupiah dari de-ide segarnya. Seandainya generasi kita bersedia menggali potensi kreatif yang ada di sekitar kita mungkin tumpukan jumlah pengangguran di negeri ini akan berkurang. Masalahnya kemudian adalah, bagaimana institusi pendidikan di Sumsel sudah saatnya untuk membangkitkan mentalitalitas enterpreunership (kewirausahaan) di kalangan siswa, sehingga kelak ketika selesai sekolah dan kuliah bukan menambah barisan pengangguran yang membenai pembangunan, namun sebaliknya dapat menjadi generasi yang mandiri dan tetap menjadi tuan rumah di negeri sendiri, tanpa harus menjadi ‘peengemis’ pekerjaan diberbagai instansi pemerintah dan swasta. Sekarang, tinggal bagaimana kita harus memulai untuk mencoba. Mengutip motivator Indonesia Andre Wongso, selama kita tidak pernah berani mencoba, takut jatuh dan takut terhadap kegagalan, maka keberhasilan dan kesuksesan dalam hidup akan makin menjauhi kita. (imron supriyadi)
SIAPA BILANG LAPANGAN KERJA SEMPIT?
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Comments :
Posting Komentar