KULIAH (BUKAN?) JAMINAN CEPAT KERJA



Agus dan Rahmat, adalah kedua teman saya semasa SMA. Keduanya punya semangat untuk melanjutkan ke perguruan tinggi. Bedanya, Rahmat lahir dari keluarga pas-pasan. Sementara Agus dari keluarga yang berkecukupan. Agus akhirnya berangkat ke Australia mengambil program Bisnis di Sidney. Sementara di tempat berbeda, Rahmat tetap di Indonesia, masuk ke lembaga pendidikan kursus membuat roti. Hanya dua tahun, Rahmat lulus dengan mengantongi sertifikat pembuatan roti yang tentu layak dijual. Sementara Agus masih asik di luar negeri dengan berbagai kesibukan akademisnya.
Tiga tahun berlalu. Rahmat berhasil menjaring perusahaan yang meminjami modal usaha. Berkat kerja kerasnya, roti yang dihasilkan Rahmat akhirnya mampu menguasai sebagian pasar di Provinsi Lampung ketika itu. Kami menyebutnya dengan ‘Roti Mungil’ sesuai dengan bentuknya yang kecil tetapi enak untuk menemani segelas kopi atau sekedar air putih.
Dalam waktu yang sama, Agus pulang. Tetapi dengan bekal kesajanaannya luar negeri, Agus tidak bisa langsung seperti Rahmat yang berdikari, apalagi menyerap tenaga kerja. Justeru situasinya berbalik. Pada suatu ketika, Agus yang sudah memiliki tanggungan anak dan isteri meminta Rahmat agar dirinya diberi pekerjaan, walau gajinya sekedar cukup untuk makan keluarganya. Menyedeihkan. Tetapi ini adalah fakta yang mungkin saja terjadi diantara sebagian masyarakat kita.
Ini bukan kali pertama terjadi. Masih banyak lagi kasus serupa yang menimpa sebagian generasi kita. Setelah tamat kuliah, bukan siap membuka lapangan pekerjaan melainkan siap menjadi ‘buruh’ yang siap dipekerjakan. Mending jika memiliki keahlian (skill), kalau tidak? Sudah barang tentu kesarjanaan itu hanya akan menjadi lebel formal yang tidak membawa perubahan apapun dalam kehidupan selanjutnya.
Pertanyaannya adalah, masih pentingkah kuliah? Apakah ada jaminan cepat kerja setelah kuliah? Bagaimanapun, menempuh pendidikan yang lebih tinggi merupakan cita-cita luhur. Tetapi bagi orang yang lahir dari keluarga miskin dan tidak sanggup membiayai kuliah, tidak harus berkecil hati dan mengurungkan cita-cita mulia itu. Toh, Rahmat teman saya, akhirnya bisa menjadi sosok yang mandiri dan menyerap tenaga kerja, meski hanya bermodal ijzah D.III kursus membuat roti.
Bila sudah memiliki usaha dan menghasilkan, cita-cita meraih gelar S.1, S.2 sampai selanjutnya bukan hal yang sulit. Masalahnya kemudian adalah, sambil masuk di bangku kuliah, para siswa yang kelak menjadi mahasiswa semestinya sudah dari awal mempertanyakan dalam dirinya, what do you want to be? Setelah ini (setelah tamat kuliah nanti) anda akan menjadi apa? Akan menjasi siapa?
Pertanyaan ini, diharapkan dapat menjadi dorongan bagi setiap calon mahasiswa atau mahasiswa semester awal, agar menyadari bahwa perguruan tinggi bukan jaminan untuk kemudian memudahkan seseorang mendapat pekerjaan. Tetapi sejak awal inilah, tanyakan pada diri sendiri potensi apa yang mesti dikembangkan, sehingga kelak seusai tamat perguruan tinggi, akan dikembangkan menjadi usaha mandiri, menyerap tenaga kerja dan bukan malah memperpanjang barisan pengangguran intelektual.
Oleh sebab itu, jauh sebelum menentukan pilihan jurusan di perguruan tinggi, perlu mempertanyakan diri sendiri tentang potensi apa yang tengah dimiliki saat ini, dan kelak dapat dikembangkan setelah tamat kuliah? Atau minimal sudah ada keinginan dan cita-cita, akan menjadi apa setelah kuliah? Seniman? Wartawan? Penulis Novel? Pengacara? Polisi? Tentara? Pengusaha? Dokter? Politisi? Bidan? Arsitek? Aktor film? Dan lain sebagainya.
Pertanyaan ini menjadi penting artinya, agar ketika seseorang masuk di perguruan tinggi sudah memiliki target akhir, kelak akan menjadi apa setelah menyandang sarjana. Kesadaran ini perlu diciptakan, sehingga kelak ketika di bangku kuliah bukan sebatas menjalani rutinitas perkuliahan mendapat gelar semata-mata. Kalau tujuannya sebatas menyandang gelar di belakang nama, maka sudah dipastikan orang tersebut justeru akan dipusingkan oleh statusnya. Oleh sebab itu ada kelakar setelah tamat kuliah mendapat STTB, bukan Surat Tanda Tamat Belajar, tetapi, Sudah Tamat Tambah Bingung. Kenapa? Karena dari awal tidak menentukan target dan tujuan, untuk apa kuliah. Logikanya, bagaimana mungkin sebuah tim sepak bola akan bersemangat untuk melakukan penyerangan kalau tidak ada target, apalagi kalau bukan untuk menciptakan gol ke gawang lawan. Demikian pula dalam menjalani perkuliahan. (*)

Imron Supriyadi

Comments :

0 komentar to “KULIAH (BUKAN?) JAMINAN CEPAT KERJA”